Persona Intikalia

8 Mar 2009

Intikalis | Atheis

_____

Atheisme sering dikatakan sebagai paham yang tidak mempercayai Tuhan, baik itu keberadaannya maupun perannya dalam kehidupan manusia. Sulit untuk merunut sejak kapan paham ini ada di muka bumi. Walaupun demikian, banyak orang yang mengklaim bahwa dirinya atheis. Atheisme mulai diberikan landasan rasional ilmiah ketika Ludwig Feuerbach menerbitkan karyanya The Essence of Christianity dan melakukan kritik agama khususnya agama Kristen.

Atheisme model Ludwig Feuerbach adalah filsafat model “tak lain daripada…”. Hal ini karena pemikiran yang diajukan hanya melihat sesuatu dibalik/dibelakang masalah yang dibicarakannya. Bukannya secara jujur mengungkapkan kebenaran dan kesalahan dari agama tapi langsung masuk kedalam adanya sesuatu di balik layar dari agama itu : “bahwa agama tak lain daripada….”. Landasan filosofis ini sering disebut dengan nama Reduksionisme.

Dalam tulisan ini saya hanya mengungkapkan 4 landasan berpikir para pemikir aliran utama atheisme, tentunya dengan penjelasan singkat ala kadarnya. Keempat pemikiran itu, yang mempelopori filsafat kritis terhadap agama, adalah Ludwig Feuerbach, Sigmund Freud, Friederich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

1. Atheisme Ludwig Feuerbach


Feuerbach adalah orang yang pertama kali memberikan landasan rasional ilmiah terhadap atheisme. Dia juga adalah salah satu pendukung filsafat dialektis Hegelian. Alih-alih mendukung sepenuhnya konsep hegelian, hal yang menurutnya bertentangan antara dirinya dengan konsep Hegel adalah tentang sesuatu yang nyata dan rasional. Bagi Feuerbach, manusia adalah nyata dan rasional, sedangkan roh semesta (yang dinyatakan oleh Hegel dan diasosiasikan dengan Tuhan/Allah) adalah sesuatu yang tidak nyata.

Bagi Feuerbach, agama adalah proyeksi manusia atas keterasingan dirinya. Agama menjadi tempat bagi manusia untuk mengasingkan dirinya dari kehidupannya. Sebagai proyeksi, agama tak lain dari sesuatu yang diberikan penghargaan positif terhadap dirinya. Segala konsep tentang Tuhan, Malaikat, Surga, dan Neraka yang ada dalam agama tak lain daripada hasil proyeksi manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia yang mengkonsepkan hal-hal itu. Manusia yang menciptakan Tuhan, dan bukan Tuhan yang menciptakan manusia.

Agama berdampak positif bagi manusia. Segala sesuatu yang Maha, misalnya Adil, Baik, Penyayang, Pengampun, dll yang ada dalam Tuhan Agama, tidak lain daripada proyeksi manusia itu sendiri. Hal itu sebenarnya telah ada dalam eksistensi manusia. Bukannya menjadikan sesuatu yang Maha itu menjadi milik manusia, manusia justru terjebak dalam pemujaan dan penyembahan kepada agama dan Tuhan yang sebetulnya telah berada dalam dirinya dan menjadi miliknya. Oleh karena itu, manusia harus mengambil kembali ke-Maha-an itu kedalam dirinya. Agama dan Tuhan bukan lagi merupakan sesuatu yang menjadi pusat bagi manusia, tetapi justru manusialah pusat dari segalanya.

2. Atheisme Sigmund Freud.


Sigmund Freud adalah seorang psikiater yang menciptkan dan mengembangkan metode Psikoanalisis. Suatu metode/teori yang kemudian menjadi salah satu aliran besar dalam psikologi. Freud mengikuti alur berpikir Feuerbach dengan filsafat reduksionisme-nya bahwa agama “tak lain daripada…”

Buku karya Freud yang menyatakan atheismenya adalah Totem and Taboo (1913) dan Moses and Monotheism (1938). Menurut Freud, ritual-ritual keagamaan mempunyai kemiripan dengan ritual yang ada dalam gangguan obsesif-kompulsif. Obsesif-kompulsif adalah suatu gangguan psikologi (psychological disorder) dimana seseorang tidak mampu menahan keinginannya untuk melakukan suatu gerakan/aktivitas berulang-ulang, misalnya mencuci tangan berkali-kali, dll. Freud juga mengatakan “neurosis as an individual religion, religion as a universal obsessional neurosis”. Suatu pernyataan yang jelas mengaitkan antara agama dan neurosis.

Dilain pihak, Freud juga mengatakan bahwa agama tak lain daripada sublimasi insting-insting seksual. Teori Psikoanalisis Freud dibangun diatas satu konsep yang disebut Psikoseksual, bahwa dorongan-dorongan seksual (sexual drive/libido) adalah dorongan yang terutama dalam diri manusia yang membuat manusia itu bisa bertahan hidup. Sedangkan sublimasi adalah salah satu mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang dibangun manusia untuk menyeimbangkan egonya dari dorongan-dorongan yang berasal dari ketidaksadaran. Insting-insting seksual manusia harus diberi bentuk lain agar dapat diterima secara sosial, dan semuanya itu ada dan tampak dalam agama. Agama adalah sublimasi dari insting-insting seksual manusia agar dapat diterima oleh masyarakat.

3. Atheisme Friederich Nietzsche.

Whiter is God, ‘he cried. ‘I shall tell you. We ahve killed Him-you and I. All of us are murderers…God is dead. God remain dead. And we have killed him…” (Friederich Nietzsche, The Gay Science, 1882).
Kutipan diatas adalah salah satu pernyataan Nietzsche dalam bukunya. “God is Dead” yang dikatakan oleh Nietzsche bukanlah pengertian Tuhan secara literal. Jika Tuhan telah mati berarti pada suatu saat Tuhan pernah ada. Apa yang dinyatakan oleh Nietzsche adalah kematian keagamaan di Eropa. Pengertian God is Dead adalah Tuhan dalam konteks kekristenan di Eropa. Bahwa kepercayaan terhadap Tuhan (pada saat itu adalah Kristen) adalah kepercayaan yang salah. Tuhan tidaklah lagi dapat dipercayai, dan oleh karena itu Dia telah mati, dan seandainya Dia belum mati, adalah tugas manusialah untuk membunuhnya (and we have killed him…).

Pandangan Nietzsche melegitimasi pandangan dalam bidang keilmuan (science) bahwa ilmu pengetahuan akan mengeluarkan Tuhan dari ranah kehidupan manusia. Filsafat, ilmu pengetahuan, politik dan bidang-bidang lain akan memperlakukan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak relevan dan tidak humanis.

4. Atheisme Jean-Paul Sartre


Sartre adalah salah satu tokoh terkemuka dalam Filsafat Eksistensialis. Dia adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Atheisme adalah salah satu inti dari filsafat Sartre.
Sartre menolak konsep tentang Tuhan karena konsep Tuhan berisi kontradiksi dalam dirinya sendiri (self-contradiction). Sartre mendefinisikan Tuhan sebagai konsep yang being-in-itself-for-itself. Konsep Tuhan sebagai in-itself memproposisikan bahwa Dia adalah eksis, sempurna dalam dirinya sendiri, dan secara total tidak relevan. Sedangkan konsep for-itself memformulakan bahwa Dia adalah bebas secara sempurna dan tidak terikat terhadap apapun. Kesimpulan logika haruslah menolak konsep seperti ini karena konsep ini berisi kontradiksi dalam dirinya. (Jean-Paul Sartre, Being and Nothingnes : An Essay in Phenomenological Onthology, 1943).

Selain itu, konsep keberadaan Tuhan membatasi kebebasan dan eksistensi manusia. Konsep Tuhan diadopsi oleh manusia untuk memberiarti dunia ini. Manusia menemukan konsep ini untuk menerangkan sesuatu yang tidak dapat diterangkan (explain the unexplainable). Konsep Tuhan adalah keinginan manusia untuk memenuhi ketidaksempurnaan dan ketidakmampuannya.

-------
Konsep-konsep atheisme diatas dapat berkembang menjadi pemikiran-pemikiran baru dalam aliran-aliran atheisme. Dan perdebatan seputar konsep ini masih terus berlanjut.

_____

Artikel di atas aku dapatkan dari searching di Google ...
Mungkin Anda bingung dengan istilah-istilah psikologi yang aneh di dengar telinga. Lantas, apa hubungannya atheis dengan intikalis. Tentu itu akan menjadi pertanyaan yang cukup mengganggu otak Anda.

Dari bahasan di atas Anda sedikit diberi informasi tentang atheis, yang secara garis besarnya adalah "atheis itu menafikan eksistensi tuhan". Lantas yang akan aku bahas selanjutnya adalah intikalis.

Intikalis, sebenarnya diambil dari kata "intikali" dengan penambahan -is sebagai tanda bahwa maksud dari penambahan -is tersebut adalah orang yang memiliki sangkut paut dengan intikali. Namun, hingga saat ini aku belum pernah menjelaskan kepada khalayak umum tentang apa sih sebenarnya intikali itu. Meski aku telah memberikan pengertian secara etimologi tentang intikali pada postinganku sebelum, rasanya itu sangat tidak mumpuni memahami intikali dengan hanya berbekal etimologi saja. Karena setiap bahasa lahir dengan dua hal, etimologi dan terminologi. Gampangnya, etimologi adalah pengertian secara leksikal (kamus) dan terminologi adalah pengertian secara makna (kontekstual, tergantung di mana kata itu digunakan).

Sayangnya terkadang masyarakat kita terlalu dangkal dalam memahami suatu perkara. Mereka terkadang hanya berhenti pada etimologi saja, tanpa menghiraukan terminologinya. Padahal dalam setiap pembahasan, yang paling utama adalah terminologi, meskipun tak menutup kemungkinan membubuhkan etimologi sebagai bumbu saja, setidaknya bisa mempermudah dengan memberi rambu-rambu lingkup terminologi dari sebuah kata.

Intikalis, gampangnya kita artikan sebagai orang yang senantiasa berintikali. Meski kita kesulitan untuk mendefinisikan intikali karena memang intikali itu tak terdefinisi, namun tak menutup kemungkinan kita dapat mendeteksi sifat-sifat yang melekat pada intikali itu sendiri. Intikali itu rasa, intikali itu cinta, intikali itu seni, intikali itu begini dan begitu. Dan mungkin masih banyak lagi kaitan-kaitan intikali yang lainnya. Yang jelas kebiasaan dari intikalis seperti aku ini adalah mempunyai prinsip-prinsip yang kita buat untuk memberikan rambu-rambu agar tidak keluar dari kata intikalis itu sendiri. Salah satu kebiasaannya adalah: intikalis itu tak mau terikat oleh cinta yang bisa membuatnya buta, meskipun terkadang mereka memuja-muja cinta. Pujaan mereka terhadap cinta adalah kekaguman yang dibatasi oleh prinsip itu tadi. Intikalis tak menafikan eksistensi cinta. Cinta itu memang ada, namun seharusnya cinta itu yang kita taklukkan , bukan kita yang ditaklukkan oleh cinta. Lantas apa hubungan intikalis dan atheis?

Atheis, menafikan tuhan. Intikalis apakah menafikan tuhan? Intikalis memang menafikan tuhan. Wew, intikalis berarti sama dums dengan atheis. No no no, intikalis tak sama dengan atheis. Tapi kan sama-sama menafikan tuhan? Tidak semua hal yang terlihat sama itu sama. Kug bisa?

Intikalis memang menafikan tuhan. Pengertian dari tuhan sendiri, tidak jauh dari suatu yang diagung-agungkan sehingga membuat sugesti kepada kita bahwa eksistensinya benar-benar ada. Kalau menurut atheis, mereka menganggap tuhan itu hanya sebatas khayalan belaka. Kalau menurut intikalis, kita menganggap tuhan hanyalah sebatas pelampiasan rasa yang jika kita tidak mempunyai hal itu kita akan merasa tersiksa, meskipun ketersiksaan itu terkadang mereka sendiri yang memunculaknnya dari diri mereka. La terus? Kug malah membingungkan pembahasannya? Heheheh ... Kalau di sini saja Anda sudah bingung, untuk apa aku meneruskan pembahasannya. Biarkan menjadi misteri yang mungkin tak 'kan pernah terungkap.

1 komentar: