Persona Intikalia

2 Jan 2011

Maria, Sano, dan Rasa Kagum

Detak jarum terdengar dari sebuah jam tangan seorang siswi yang duduk membaca sebuah buku di perpustakaan. Heningnya perpustakaan seakan mengamplifikasi suara detak itu. Tik tik tik. Guyuran cahaya dari lampu perpustakaan memantulkan keindahan pemilik jam tangan tersebut. Dihiasi dengan uraian rambut yang menunjukkan kesempurnaan penciptaan. Mata yang serius memandang mantra-mantra dari sebuah bundel kertas yang bercerita, menambah kagum yang memandangnya. Maria, namanya.

Setiap hari setelah pulang sekolah, ia selalu ke perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat yang paling nyaman bagi seorang kutu buku seperti dirinya. Seorang Maria yang plegmatis sangat menyukai tempat ini dan seakan menjadi tempat bersemedi setelah sekolah yang riuh. Ada saja buku yang dipinjamnya setiap hari. Hingga penjaga perpustakaan pun mengenalnya dengan baik. Maria biasa menempati meja yang berada di pojok dekat penjaga perpustakaan.

Suatu saat ketika Maria ke perpustakaan, ia menabrak seorang siswa yang mau keluar dari perpustakaan. "Afwan", terucap dari mulut siswa itu. "Sorry", ucap Maria. Siswa itu bergegas berjalan meninggalkan perpustakaan. Maria terus memandangi langkah anak itu sambil berpikir bertanya-tanya tentang kata "Afwan". "Afwan, apa itu?", gumamnya. Dengan rasa penasarannya, Maria mencarinya di perpustakaan, mungkin saja ada di beberapa buku. Namun, seingatnya ia baru kali ini tahu kata itu.

Hari sudah sore, Maria bergegas pulang ke rumah. Saat perjalanan, ia melewati lapangan basket yang sedang dipakai banyak siswa untuk bermain futsal. Seraya Maria memandang, ia melihat anak yang tadi ia tabrak di pintu perpustakaan. Maria melihat anak itu membawa bola yang keluar lapangan lalu memberikan kepada temannya. "Syukron", kata temannya. "Afwan", jawab anak itu. Maria semakin penasaran dengan kata "Afwan".

Sesampainya di rumah, setelah mandi, Maria merenung di kamarnya. "Afwan, eum ... ", gumam Maria sambil menghela nafas panjang. Ia mulai ingat. Bukankah anak yang ia tabrak tadi di perpustakaan adalah teman satu kelasnya. Maria beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajarnya. Ia mencari katalog daftar teman sekelasnya di tumpukan buku yang ada di meja itu. "Akhirnya kutemukan kau", gumam Maria sambil memegang katalog itu. Dibolak-balik oleh Maria demi lembar, tak kunjung ia temukan, padahal cuma ada 40 murid di kelasnya. Henyak dia menenangkan diri dan mencarinya dengan pelan dan lebih teliti. "Sano", gumamnya setelah menemukan nama anak itu di katalog.

Pagi harinya ketika Maria berada di kelas, ia ingin sekali menanyakan pada Sano apa itu "Afwan". Namun, sayang sekali kesempatan tak kunjung datang. Sano terbiasa masuk kelas mendekati bel masuk dan ketika istirahat ia selalu keluar kelas. Maria hanya menunggu saat itu datang, saat yang tepat untuk bertanya. Setiap hari Maria memperhatikan gerak-gerik Sano, mencari waktu yang tepat untuk bertanya.

Setiap hari Maria memperhatikan tingkah laku Sano, setiap kali juga ia menemukan hal baru dan menurut dia aneh namun menarik untuk dikaji. Maria terlalu mudah tertarik dengan kebiasaan-kebiasaan yang tak pernah ia ketahui. Kadang kagum dengan santunnya sikap Sano terhadap teman sekelasnya, kadang Maria tak tahu kelakuan Sano yang sok eksklusif. Maria sering melihat dia ringan tangan, membantu temannya yang kesusahan. Terkadang juga ia menolak ajakan teman-temannya dalam beberapa hal, padahal menurut Maria itu adalah hal yang biasa, tak perlu harus menolak, meskipun Sano menolaknya dengan santun.

Saat pelajaran pun terkadang Maria menoleh dan mencuri pandang apa yang sedang Sano kerjakan saat guru menerangkan di depan kelas. Tak jarang Maria tersenyum sendiri dan kadang menjadi badmood saat melihat Sano. "Ria, senyum-senyum ada apa? Lagi bahagia yah, ayo cerita dong!", teman sebangkunya menegur. Vela, seorang Katolik teman sejak SD dengan Maria. "Um, mau tahu aja nih Vela, hi hi hi", Maria tertawa kecil. "Ah, Maria pelit, ayolah sharing-sharing", desak Vela. Maria hanya menjawabnya dengan tersenyum. "Ha ... lagi-lagi dijawab dengan senyuman", gumam Vela.

Hari demi hari, Maria mulai menyadari bahwa dia sebenarnya tidak mempuyai alasan untuk memperhatikan Sano. Bukankah Sano dan Maria tidak satu keyakinan. Maria berpikir, ia berlebihan melakukan ini semua, setiap hari memperhatikan kelakuan Sano. Namun, tak bisa dipungkiri, Maria mulai tertarik dengan Sano. Kagum tepatnya. Ketika Maria melihat Sano bahagia, ia pun tersenyum. Ketika melihat Sano murung, Maria pun ikut sedih. Lantas apa namanya kalau begini.

Suatu hari tidak terjadilah hal yang menakjubkan di perpustakaan. Saat itu Sano mengerjakan proposal kegiatan Rohis di perpustakaan. Karena memang mengerjakan proposal membutuhkan ketenangan agar setiap katanya tertata dengan baik. Dengan bantuan laptopnya ia mengerjakan dengan sesekali menggaruk-garuk kepalanya karena kehabisan diksi. Di pojok sana juga ada Maria yang sedang asyiknya membaca buku. "Hoah ... andai saja ada seorang yang membantuku menemukan diksi yang tepat untuk Abstrak Proposal ini", harap Sano sambil meregangkan tangannya.

Maria sejenak berhenti dari membacanya dan melihat asal suara itu, sepertinya ia amat mengenal suara itu. Dilihatnya oleh Maria ke arah itu. Sano, ialah pemilik suara itu. Maria menghampiri Sano. Ia menawarkan bantuan pada Sano. "Mungkin aku bisa membantumu?", Maria menawarkan bantuan pada Sano. "Heuh? ... Oh silakan", ucap Sano sambil berdiri dan memberikan tempat duduknya pada Maria untuk membantunya. Membaca sekilas, Maria pun mulai menulis di laptop itu. Gaya bahasa dan padanan kata yang dimiliki oleh Maria setidaknya mampu jika hanya menyelesaikan sebuah Abstrak Proposal.

Sano melihat hasil kerja Maria. "Wah, bagus-bagus", Sano memuji hasil kerja Maria. Maria tersenyum. "Syukron", kata Sano. "Afwan", spontan Maria menjawabnya. Sano terkejut dengan jawaban Maria. Sano bertanya, "Kamu tahu kata Syukron dan Afwan?" "Ya, aku melihat percakapan kalian ketika di lapangan basket seperti itu", jawab Maria. "Ouw, begitu yah", gumam Sano. "Oh ya Sano, aku mau tanya apa sih artinya Syukron dan Afwan itu?" tanya Maria. "Syukron itu terima kasih, Afwan itu maaf", jelas Sano. "Hah, kug bisa ketika mengatakan Syukron yang artinya terima kasih jawabnya malah Afwan yang artinya maaf?" tanya Maria. "Um ... itu sudah kaidah bahasa Arab", jawab Sano. "Begitu yah", gumam Maria.

Maria terhenyak. Sesekali ia memandang mata Sano. Maria mulai merasa ada hal yang terjadi pada dirinya. Apakah ini ... ah tidak, mana mungkin. "Um ... ", kata Sano. Maria bangkit dari lamunannya. "Ya?", Maria menjawab. "Boleh tahu siapa namamu?", tanya Sano. Hah ... Maria terkejut, jadi selama ini satu kelas dengannya, Sano tidak menyadarinya. Benar-benar apatis si Sano ini. "Namaku Maria. Bukankah kita satu kelas?" kata Maria. "Hah, satu kelas? Saya tak pernah menyadarinya", senyum Sano, "Syukron ya Maria." Dengan sedikit kaget dengan fakta bahwa Sano baru menyadari bahwa mereka sekelas, Maria tetap tersenyum dan berkata, "Afwan".

Sano pun bergegas pergi dengan laptop di tangannya dari perpustakaan. Maria menghela nafas panjang. Ia kembali duduk dan mulai membaca buku kembali. Otak Maria mulai kerasukan rasa kagum pada Sano. Kagum pada pribadi Sano, meskipun terkadang membuat bete Maria. Rasa deg-degan pascapercakapan dengan Sano pun Maria alami. Ia tidak konsentrasi dengan bukunya lagi. "Ah ... aku ga boleh jatuh hati pada Sano, Aku 'kan beda keyakinan dengan Sano", gumamnya dalam hati. "Anehnya, mengapa Sano tidak menyadari aku yang cantik ini sekelas dengannya", otak Maria yang mulai narsis. Memang sebenarnya secara fisik, Maria begitu sempurna. Namun, Sano tidak peduli dengan itu.

bersambung

6 komentar: