Persona Intikalia

23 Feb 2014

Pengalaman Mengurus Dokumen Pewakafan Tanah Musholla

Berawal dari pembicaraan antar tokoh masyarakat di kampung, kami menyadari bahwasanya dokumen yang menyangkut tanah tempat berdirinya musholla belum terurus hingga saat itu. Dan aku yang kebetulan saat itu sedang memiliki waktu luang, ditugaskan untuk mengurus masalah tersebut.

Keesokan harinya aku langsung pergi ke Kantor Urusan Agama (KUA), untuk menanyakan apa saja yang harus dilakukan untuk mengurus dokumen pewakafan tanah musholla tersebut. Namun entah mengapa petugasnya nampak kebingungan dengan pertanyaanku, dan setelah petugasnya menelepon entah siapa selama sekitar 10 menit, dia memberikan daftar apa saja yang perlu kulakukan.

Selama 3 hari berikutnya aku terus bepergian untuk memenuhi syarat-syarat yang diajukan KUA. Mulai dari pembuatan dokumen hingga mencari ahli waris daripada orang yang mewakafkan tanah musholla tersebut setengah abad yang lalu. Alhamdulillah semuanya dapat terselesaikan hanya dalm kurun waktu 3 hari. Aku ingat saat itu adalah 2 minggu sebelum dimulainya bulan puasa untuk tahun 2013.

Pihak KUA mengatakan bahwa aku tinggal menunggu surat keputusan/pemberitahuan dari Departemen Agama (Depag).

Satu minggu berlalu, dua minggu berlalu, belum juga ada jawaban. Sejak saat itu aku selalu mendatangi KUA setidaknya 3 kali dalam satu bulan untuk menanyakan hal yang sama, namun mereka terus memberikan jawaban yang sama... "Sabar, mas!"

Akhir Januari, sang ahli waris (yang tadinya disebut) jatuh sakit dan kondisinya memburuk. Berpikir bahwa jika sampai sang ahli waris meninggal dunia dan pengurusan dokumen belum juga selesai, maka urusan tersebut akan makin panjang, aku disuruh meminta bantuan seorang makelar untuk menyelesaikan urusan ini.

Seminggu setelah aku meminta bantuan seorang makelar yang kukenal (plus uang 500 ribu untuk tujuan yang nggak jelas), KUA akhirnya memanggil para pengurus musholla beserta sang ahli waris untuk pambacaan surat keputusan beserta penandatanganan surat serah-terima.

Sayangnya dalam acara tersebut, petugas KUA melakukan berbagai kesalahan, mulai dari salah ketik dokumen (hingga 4 kali) hingga kurangnya copy berkas yang mereka sediakan, sehingga proses yang seharusnya tidak perlu memakan waktu setengah jam, akhirnya perlu sekitar 3 jam sebelum semuanya selesai (petugas KUA tetap meminta waktu istirahat saat pukul 12, gak kasihan tuh mereka pada sang ahli waris?).

Pihak KUA menyatakan bahwa semua prosedur telah selesai.

Hampir 2 minggu setelahnya, aku dihubungi kantor KUA. Mereka mengatakan masih ada satu hal lagi yang perlu dilakukan, yaitu untuk menyerahkan copy berkas pewakafan tanah kepada kantor Lurah, Camat, serta kantor Pengadilan Agama. Di kantor Lurah dan Camat, petugasnya tampak bingung mesti diapakan dokumen yang kuserahkan, namun mereka tetap menerimanya.

Di kantor Pengadilan Agama, aku mendatangi bagian informasi untuk mencari tahu kepada siapa copy berkas itu harus kuserahkan. Di sana petugas bagian informasi malah menanyakan, "Buat apa dokumen ini kok diserahkan ke Pengadilan Agama?"

Merasa jengkel dengan quest-quest gak jelas yang kulakukan itu, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Kulempar berkas dokumen yang ditolak oleh kantor Pengadilan Agama di pujok kamarku. Dan aku mulai menulis cerita ini.


***

Itulah birokrasi negara tercinta kita ini. Birokrasi masih belum terintegrasi. Akibatnya, mengurus surat apapun sepertinya tidak ada kejelasan yang pasti. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh calo-calo untuk menggunakan jasa mereka. Naas, tapi mau bagaimana lagi. Kita tak mungkin mengganti kewarganegaraan hanya karena orang-orang bodoh memimpin kita.

Kamu juga bisa mengirim surat pembaca (tentang kejadian menjengkelkan) versi kamu ke admin at intikali dot org.

13 komentar:

  1. Siapa pun yang pernah (apalagi sering) berurusan dengan birokrasi, pasti akan paham bahwa birokrasi diadakan di negeri ini bukan untuk mempermudah urusan warganya, tapi untuk mempersulit. Urusan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah dibikin lama dengan berbagai persyaratan hingga butuh waktu sangat lama, bertele-tele, dan tidak jarang juga menjengkelkan. Birokrasi is shit!

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha, ini masih dalam satu kota :P
      la kasus ane malah lebih rumit
      ngurus surat pindah istri, KK, akta kelahiran anak :D
      bayangin rumitnya

      Hapus
    2. Mumpung ingat. Ntar kalo bisa, pengalaman ngurus surat pindah istri itu juga diceritain John. (Kalo bisa sih sedetail-detailnya). Soalnya aku khawatir, bakal ngalamin juga, malah luar pulau. Heuheuheu...

      Hapus
    3. wow, luar pulau :D
      kayaknya rumit banget tuh

      Hapus
  2. Gambarmu tak copy yo mas .. ?? :-D

    BalasHapus
  3. hmmm salah ketik sepertinya petugas suka kurang teliti ya, aku waktu buat kartu keluarga nama Alvin slealu salah ketik juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku seringkali malah dapat konten yang gak ada hubungannya malah...

      - nama berisikan nama yang gak kukenal...
      - alamat bersisikan tempat yang gak ada hubungannya dengan rumahku...
      - tanggal pembuatan dokumen yang tidak hanya salah di satu bagian... (tanggal, bulan dan tahun salah semua)

      Sepertinya mereka selalu pake template deh... dan mereka males banget pas nge-edit isinya...

      Hapus
  4. Makelar yang dimaksdu itu kuasa hukum bukan, sih, Mas?
    Padahal, udah ada ketentuan untuk meningkatkan pelayanan lho. Tapi, ternyata masih kurang pelayanannya, ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepertinya sih bukan pelayanan, tapi sistemnya terlalu rumit
      akhirnya pelayannya, yang dilayani juga bingung :D

      Hapus
  5. kenapa pakai makelar? ternoda dong wakafnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. jelas tidak lah yo
      makelar itu ada karena saat pengurusan surat
      bukan akadnya :)

      Hapus