Saat itu, aku berkunjung ke salah satu rumah temanku. Sekitar jam delapan pagi aku sampai di rumahnya. Aku pun disambut dengan ramah. Senang sekali rasanya, karena tak terasa sudah tiga tahun lebih aku tidak mengunjungi rumah itu lagi. Ya, suasana memang sedikit berubah. Dia sudah terlihat semakin dewasa. Namun tetap saja dia masih terlihat imut-imut, meskipun kadar keimutannya mulai berkurang. Aku juga melihat kakaknya yang juga turut menyambut kedatanganku. Aku malah ngobrol dengan kakaknya, ah memang selalu saja begitu. Aku sepertinya masih malu-malu jika langsung mengobrol dengannya.
Setelah itu, ibunya pun bergabung dalam pembicaraan kami. Inilah yang aku suka, sepertinya aku sangat disambut di keluarga temanku ini. Apalagi dengan adeknya yang paling kecil. Dia suka sekali dengan kucing. Aku juga suka dengan kucing. Namun, itu tiga tahun yang lampau. Setelah aku mencoba menanyakannya lagi, ternyata dia masih saja suka dengan kucing. Sayangnya saat itu, kucingku sudah tidak ada lagi di rumah karena alasan tertentu. Sepertinya adeknya sangat menyayangkan karena belum pernah langsung berinteraksi dengan dua kucingku.
Sepertinya aku terlalu lama berbasa-basi. Aku pun mencoba membuka pembicaraan dengan temanku ini. Dia adalah temanku sekaligus seseorang yang aku cintai sejak tiga tahun yang lalu. Ya, kami memang lebih suka jika status kami adalah teman. Teman mengobrol, teman curhat, teman bisnis, teman bercanda, teman bertukar pendapat, dan semoga saja menjadi teman hidup. Aku juga terkadang pesimis dengan pertemanan kami, tapi hal itu justru mengingatkanku pada sebuah perkataan, "Aku tidak tahu ini berkah atau musibah, yang penting aku berprasangka baik pada Alloh". Ya, berprasangka baik adalah kunci dari bertahannya pertemanan kami ini. Seperti biasanya, dia sangat suka sekali mengobrol denganku. Entah apa saja, selalu ada yang kami obrolkan. Sepertinya tidak pernah kehabisan materi obrolan. Ku perhatikan raut wajahnya berganti-ganti saat mengobrol denganku. Aku juga tidak tahu apakah ini karena aku yang pandai bermain emosi ataukah memang dia yang emosinya naik turun. Namun, tetap saja aku melihat senyumnya di setiap saat.
Kemudian, kami pun sejenak terdiam karena kehabisan bahan pembicaraan. Tiba-tiba aku pun teringat perihal perjanjian kami. Siapa yang lebih mencintai, maka dialah yang akan menraktir makan nasi padang. Dia pun tersenyum lalu cemberut. Sepertinya dia mengira bahwa aku datang jauh-jauh dari Surabaya ke rumahnya hanya untuk menagih ditraktir nasi padang. Padahal belum tentu dia yang menraktir aku. Bisa saja kan aku yang menraktirnya. Aku juga tahu diri lah, aku kan lelaki, tentu sangat tidak lazim jika aku yang ditraktir. Kemudian aku pun menanyakan apakah dia lebih mencintaiku daripada aku mencintainya, atau mungkin sebaliknya. Kami pun beradu argumen, saling menjatuhkan satu sama lain. Sepertinya dari kedua orang ini tidak ada yang mau mengalah -tepatnya tidak ada yang mau menraktir kekasihnya-. Parah memang.
Ternyata, mamanya mendengar apa yang kami bicarakan. Seperti biasa, mamanya memang punya selera humor yang tinggi dan selalu menghasilkan solusi di luar perkiraan kami. Kemudian mamanya nyeletuk, "Yaudah, mama aja yang nraktir kalian". Kami pun terdiam dari perdebatan kami. Kami sama-sama malu dan memerah pipi. Saat itu sangat malu sekali, dia juga. Tapi sepertinya aku dan dia memang suka sekali berdebat dan tidak ada yang mau mengalah, sebelum benar-benar lelah. Kemudian mamanya pun menghidangkan masakan untuk kami berdua. "Ga usah makan masakan padang, masih lebih enak masakan mama kug, coba saja", kata mamanya. "Iya bu, kami ga jadi makan masakan padang", jawabku. "Lagian juga mama ga akan membolehkan kalian jalan berdua". Aku pun makin malu. Aku tersenyum melihat dia memainkan tangannya karena ucapan mamanya. "Ayo dimakan", mamanya mengingatkan kami karena kami saling sibuk mencuri pandang satu sama lain.
Kami pun makan bersama dengan kakak dan adeknya. Suasana mencair begitu saja. Kami pernah beranggapan bahwa aku makan lebih lama dari dirinya. Ternyata itu salah, dia makan lebih lama dariku. Mungkin saja karena dia malu karena takut diledekin sama kakaknya bahwa dia makan lebih cepat dan banyak dari diriku. Haha, aku tersenyum. Dia makan lebih lama bukan karena dia malu dengan makanku yang lama. Sepertinya dia lebih sibuk mencuri pandang padaku daripada menyuap makanannya. Padahal, terkadang aku juga mencuri pandang di sela-sela makan. Bahkan mata kita sesekali bertatap lalu saling tersenyum.
Antara cinta dan nasi padang, selalu saja ada prioritas tersendiri di setiap keadaan. #mantraintikali
Cerita ini terinspirasi dari entri Nasi Padang Paling Indonesia dan Kamu dan Ramen Fantastis!
26 Jun 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
wekekke, kira2 apakan ini akan terjadi sungguhan?
BalasHapustunggu saja nanti #eh #apaansih :D
emank temen'a itu siapa sih?? :P
ini kak Enny sm kak Iska kalo bkn postingan pasti 'sehati' terus cieeee T3T
BalasHapus@Enny Law: um ... kita liat saja nanti :P
BalasHapussiapa yah temennya? kayaknya pasti Enny lebih tahu deh :D
@Annisa: wekekek ... ga boleh iri yah annisa :D
so sweet... ~(˘▾˘~) ~( ˘▾˘ )~ (~˘▾˘)~
BalasHapuswekeke :P
BalasHapusitu hanya imajinasi mas :D
ini terlalu romatis... -_-
BalasHapushai... salam kenal ya.. ;D
kenapa posting soal makanan pas aku laper, bawa2 masakan padang pula *keroncongan*
BalasHapus@Arif: masa sih terlalu romantis?
BalasHapuspadahal ane anggep itu biasa aja :P
@YeN: wekeke ... berarti cocok dong :D
biar abis baca langsung sekalian laper :P
yaaa gak jadi makan nasi padangnya, kalo gitu buat aku aja :-p
BalasHapuswekeke ... ya begitulah mbak :D
BalasHapustapi kan bisa makan nasi padang bikinan mamanya :P
cieee,,,, dari nasi padang jadi makan bareng keluarga sambil curi-curi pandang...
BalasHapusoalaaaahh...tak kiro beneran john..
BalasHapus@obat: wekeke ^_^
BalasHapustapi itu hanya fiktif :P
@rabest: enggak .. itu hanya fiktif kug best :D
gubrak,, tak kira nyata terjadi,,
BalasHapusaku tertipu...
tapi keren ceritanya,,
wekeke ... selamat tertipu :P
BalasHapus