John menerima hadiah itu dengan senang hati.
John: Um ... nikmat sekali.
Nadva: Pelan-pelan saja John menjilatinya.
John: Begitu yah?
Nadva: Um.
Dijilatinya dengan lembut hadiah itu. Sekitar mulut John belepotan.
Nadva: Eh, John.
John: Ya, ada apa, Nadva?
Nadva: Diam dulu, di mulutmu belepotan banget. Sini aku bersihin dulu pake tisu.
Oke-oke, pembaca pasti kebingungan ini adegan apa. Kug begitu mengarah ke ... Oke, aku buka saja. Hadiah yang dimaksudkan di sini adalah es krim cone, favorit si John.
***
John: Hey, Nadva. Ayo cari tempat teduh. Hujan nih. (John sambil memegang tangan Nadva membawanya ke tempat yang teduh sebelum mereka basah semua)
Nadva: Ya, John.
Keduanya akhirnya mendapatkan tempat yang teduh. Tepat di satu lantai di bawah atap gedung itu. Ditemani lampu gedung yang agak meredup. Keduanya ...
Nadva: John.
John: Ya, Nadva.
Nadva: Kamu kedinginan ga?
John: Aku sih enggak, biasanya emang kayak gini. Kamu?
Nadva: Aku merasa dingin sekali.
John melihat pipi Nadva yang bening disinari oleh lampu gedung yang redup. Seakan menghipnotis mata John. Inilah wanita, dari sisi manapun mereka tetap terlihat indah.
John: Nadva. Apa kau mau aku dekap?
Nadva: Um ... apa kau yakin mau mendekapku?
John: Emangnya kenapa, Nadva?
Nadva: Bukankah jika engkau mendekapku, kau akan berintikali.
John: Ya, aku paham akan hal itu. Tapi aku tidak tega melihat kau kedinginan seperti itu.
Nadva: Jangan, John. Aku lebih kasihan lagi ketika aku melihat dirimu sedang berintikali. Ketika kau berintikali, kau terlihat begitu tersiksa. Kau punya prinsip dan kau bertarung dengan prinsipmu itu sendiri. Bukankah aku mencintaimu? Maka tak mungkin lah seorang yang mencintai itu mencelakakan kekasih yang dicintainya.
John: Begitu yah.
John terharu dan meneteskan air mata tanpa disadari olehnya. John benar-benar mendapatkan sebuah nasihat dari Nadva tentang bahaya berintikali.
Nadva: John, mengapa kau menangis?
John: Gapapa, aku hanya terharu dengan kata-katamu, Nadva.
Nadva mengusap air mata John dengan kelembutan tangannya. John pun merasakan tangan Nadva yang dingin. John tahu bahwa Nadva sebenarnya juga tak tahan jika dia kedinginan. Keadaan terdiam membisu. Melihat wajah John, Nadva mendekatkan wajahnya. Kedua dahi mereka bersentuhan.
Kemudian Nadva memberikan pertanyaan retoris bertubi-tubi pada John.
Nadva: John. Kini apa yang kau pikirkan ketika seperti ini? Apa yang kau rasakan? Bukankah aku yang kau cintai? Bukankah aku yang selalu ada di hatimu? Bukankah tiada nama lain selain namaku yang terukir dalam hatimu? Bukankah kau akan mengabulkan segala permintaanku? Bukankah dan bukankah ...
Kemudian Nadva memegang kedua pipi John. John diam tak berpindah dari posisinya sesentimeter pun. Lalu Nadva mencampurkan senyawa ptialinnya. John tak bisa bergerak, tertegun. Nadva terus-menerus mencampur senyawa itu hingga benar-benar menjadi nyawa bagi John.
Dalam otak John --
John: Apa-apaan ini, Nadva? Kau tak boleh melakukan ini. Kau terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Kau ... kau, aku tak mengerti yang ada dalam otakmu. Oke, benar aku menikmati ini. Tapi bukan saat ini yang tepat. Lepaskan pertukaran senyawa ini sebelum aku berintikali lagi.
Nadva pun mengakhiri pertukaran senyawa itu. Lalu ... John jatuh tergelepak tak berdaya. Mungkinkah John berintikali?
Nadva: John! Apa yang terjadi dengan dirimu?
John tetap tak sadarkan diri. Tergelepak bagai tubuh tak bernyawa. Mungkinkah ini efek dari berintikali? Siapa yang tahu. Kemudian Nadva mendekap tubuh John yang sudah seperti itu dan meneteskan air mata. Nadva merasa bersalah dengan apa yang ia perbuat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Konon, sebuah kutukan terjadi pada John. Ketika dia menemukan kenikmatan cinta, maka dia akan kehilangan kesadaran hingga waktu yang tak disebutkan.
Para pecinta, pengejar hawa
sempurnakan imajinasi lalu mati
Jika cinta bawa derita
reinkarnasi nikmati cinta lagi
Kecup tak cukup luapkan rasa
bersatu dalam dua alternatif utama
Walau puncak hanya sekali
namun benar-benar dicari
Surga bernaung kenikmatan
bidadari bening berkilauan
Puncak tak pernah terlampaui
nyaris puncak berkali-kali
Melihat wajahku di pipimu
sejukkan mataku
Dengarkan suaramu di telingaku
sejukkan hatiku
John dan Nadva
cuplikan mayat-mayat cinta
Ketika Cinta Berdalih
John Terro yang ambil alih
Selesai
sek-sek...
BalasHapusiku puisine kok di kei abang.. ngerusak mata bro....
Numpang baca cerita sebelumnya dulu bos
BalasHapusdua jempol keatas. asli, keren. ini jadi pelajaran juga buat gw. hikmahnya adalah... adalah... ya gitu deh pokoknya. ghehehe.
BalasHapuskeep up, sob!
FIKTIIIIFF... ahhahaaaa... salah satu cerita fiktif bagus yang pernah saya baca. Bisa aja sih John ini.. Kenalin sama Nadva lah John!. wakakak
BalasHapussaya naksir Nadva..
BalasHapusLu gak marah kan John?! hahahaha
keren John..:)
cerita di atas memang fiktif belaka murni dari otakku yang jail :D
BalasHapuskerut dari saya yang terus tarik uLur, tersirat makna yang daLam. entah ini adaLah fiktip atau nyata, tetapi saya pernah mengaLami haL tersebut. yakni, jatuh tersungkur untuk bisa menggapai apa yang tidak bisa saya miLiki.
BalasHapusum ... gitu yah om :)
BalasHapusmungkin banyak orang yang senasib dengan om :D
hahaha...
BalasHapus"senasib", kesannya gimana gitu.
hahha ... ada apa dengan kata "senasib" itu om?? :D
BalasHapus