Untuk menyambut 2 tahun blog Persona Intikalia (tepatnya tanggal 18 Februari 2011), saya menukil tulisan pertama saya yang dibuat melalui PC-ku yang bernama 13xy. Karya ini telah saya buat jauh-jauh tahun. Pernah saya publikasikan di blog saya yang lainnya. Yang kini blog itu telah hampir mati :)
Judulnya adalah Purnama Tak Sempurna. Bahasa masih ringan, karena memang tulisan pertama. Panjang cerita sekitar 11 halaman jika ditaruh di kertas A4. Yang mau baca silakan, yang ga juga gapapa. Hahaha ... Saya hanya bernostalgia dengan karya-karya saya di tahun ke-2 blog ini. Silakan menikmati
***
Purnama Tak Sempurna
13xy
"Bagaimana mungkin orang yang jatuh cinta dapat melupakan kekasihnya?
Sedangkan namanya telah terukir di hatinya."
Reno
"Nadva," suara lirih dari mulut Reno.
Bagian A
Reno, bocah yang cukup cerdas, buktinya saja ia menjadi juara I dalam lomba itu. Ia masuk dalam 'LBB' secara gratis pun karena kecerdasannya pula.
Hari pertama, hari perkenalan. Reno masuk dengan rasa agak aneh. Merasa tidak biasa dengan apa yang ada di sana. Tempat duduk yang sekaligus berfungsi sebagai tempat untuk menulis membuatnya tidak nyaman. Biarlah saja pikirnya, nanti juga akan terbiasa. Reno seakan agak tidak percaya diri karena mungkin tak seorang pun yang ia kenal di sana.
Dilihatnya seorang bocah di sampingnya sambil menjulurkan tangannya dan berkata, "Perkenalkan aku Reno". Bocah itu menjawab, "Aku Faiz". Mereka berdua mulai bertukar identitas. Maklumlah baru kenal.
Sekonyong-konyong datanglah salah satu fasilitator dan mengenalkan dirinya pada kami. Noni namanya, perempuan dua puluh tahunan kira-kira umurnya, berbusana jilbab dan berkacamata. Kami memanggilnya Kak Noni, si fasilitator untuk bidang matematika. Setelah mengenalkan diri pada kami, ia mulai mengabsen kami sekaligus berkomentar tentang kami. Selain itu, ia juga berharap agar kami menjadi siswa yang berkompeten setelah mengikuti 'LBB' ini.
Reno pun tak tinggal diam. Ia berusaha untuk mengenal teman-temannya dari pengecekan kehadiran itu. Tak hanya itu saja, dimulailah obrolan-obrolan yang bisa merembet ke baris belakang. Dari awal memang duduk di belakang, bangku kedua dari sebelah kanan. Reno berharap agar setidaknya ia sudah mengenal satu baris dalam pertemuan kali ini. Sekolah, obyek utama yang biasanya mereka obrolkan. Kebiasaan-kebiasaan, cara mengajar guru, dan tipe-tipe guru serta trik-trik dalam menghadapinya, dan kejadian-kejadian berkesan menjadi bahan pokok obrolan.
Reno hanya punya seorang teman satu sekolah dengannya, Dika namanya. Sering tidak hadir adalah kebiasaanya. Hal ini pula yang kadang-kadang membuat Reno merasa kurang nyaman karena ia hanya seorang saja yang berasal dari Sekolah 44. Sedangkan yang lainnya mempunyai banyak teman yang mengikuti 'LBB' itu.
Tapi biarlah pikir Reno, bukankah dari sini bisa banyak teman. Bukankah kita bisa lebih bertukar informasi. Semakin banyak teman bertambah pula pengetahuan.
Selayang pandang mata memandang, Reno terbelalak oleh paras seorang temannya. Reno belum tahu namanya padahal absensi telah rampung. Hal ini terjadi saat kepulangan dari sana. Reno tersadar bahwa di sana ada juga bocah yang sepeti ini halnya. "Ah ... Reno," gumam dalam hatinya.
Reno
Diingatnya masa yang telah lampau. Begitu berkesan. Pertemuan dan perpisahan yang telah ditakdirkan.
Bagian B
Sesampainya di rumah, orang tua Reno bertanya hal ihwal menyangkut 'LBB' yang baru dimasukinya. Reno mengoceh dengan seenaknya. Mengangguk-angguk pula tanda kepahamannya tentang apa yang dikatakan oleh anaknya, Reno. Mereka beranggapan Reno senang dengan hal ini.
Esok harinya ia sekolah. Diceritakan pula tentangnya apa yang ia alami di sana pada temannya yang bertanya. Apalagi si Afan, teman sebangkunya, karib yang dapat diandalkan oleh Reno. Afan dan Reno mulai akrab satu tahun yang lalu, meskipun mereka berdua sudah saling kenal sejak tiga tahun lalu dari pertemuan kedua orag tua mereka dalam suatu bisnis.
Afan, mempunyai bentuk tulisan yang sama dengan Reno. Sehingga kalau salah satu dari mereka mempunyai urusan, yang satu dapat menuliskan catatan ataupun tugas yang diberikan oleh gurunya. Hebat bukan.
Reno
"Kau dan aku memang tak harus bersama," derik hati Reno.
Bagian C
Pertemuan kedua, biarlah menjadi awal yang baik. Dikenalnya pula oleh Reno beberapa temannya yang lain. Evo dan Devi, dua anak ini ternyata adalah penghuni yang lebih lawas dari sebagian besar kami. Ucup, anak berbadan gemuk yang lugu. Brian, teman sekelas si Ucup di sekolahnya. Masih banyak lagi lainnya karena dalam satu kelas kira-kira ada dua puluhan. Deret belakang adalah yang dikenali lebih dahulu oleh Reno, tapi pengecualian untuk Devi. Dia duduk di barisan nomor dua dari belakang.
Kali ini -Reno yang sebelumnya berangkat dari rumah untuk belajar mulai berubah niatnya- ia ingin mengetahui nama anak itu. Betapa tidak, bak seorang anak kecil lugu yang diberi kabar tentang mainan baru, pastilah tanda tanya besar bersarang di dalam otaknya. Reno benar-benar tak ingin kecolongan untuk kali yang kedua. Diperhatikan dengan benar absensi kali ini.
Begitu pada saat giliran anak itu dipanggil, Reno memusatkan pikirannya untuk itu. Fokus, tiada kata terucap selain itu. Detak jantung berdegup, mata melotot, telinga super tajam, atau segala yang menggambarkannya.
"Nadva ..." kata guruku. Teracunglah sebuah tangan yang ditunggu-tunggu sejak satu hari lalu. Reno merasa lega bak hujan yang memenuhi keinginan petani. Nama itu takkan terlupakan oleh Reno hingga waktu kelak. Betapa khas nama itu. Unik tapi sedikit aneh. Tapi biarlah, bukankah itu hanya sebuah nama. Bukankah pernah terucap oleh seorang pecinta "Apalah arti sebuah nama".
Reno
"Apalah arti sebuah nama", perkataan yang jika sekilas saja dipikirkan terlihat benar. Tidak untuk peninjauan makna yang lebih mendalam. Nama amatlah penting. Tak hanya sebagai panggilan saja, namun memilikki berbagai rahasia di dalam sebuah nama.
Namamu
dengannya ku mengenalmu
Namamu
dengannya ku memanggilmu
Namamu
dengannya ku menyanjungmu
Namamu
dengannya ku mengingatmu
Namamu
dengannya ku merindukanmu
Namamu
dengannya ku mengenangmu
Namamu
'kan ku kenang selalu
Pun dengan sebuah nama, kita dapat membayangkan sesuatu yang belum pernah kita lihat, kita rasa. Bukankah otak kita bekerja dengan sistem analogi. Mendengar, melihat, merasa amat dibutuhkan. Bagaimana jadinya sesuatu tanpa nama. Mungkin saja takkan timbul bahasa. Tak terucap sebuah kata pun. Karena tak ada yang bisa diucapkan.
Bagian D
Nama itu amat sulit dilupakan oleh Reno, meskipun di dalam kealpaannya. Nadva, gadis penuh kharisma dalam dirinya. Ketua regu dalam Pramuka, jago matematika, dan banyak lagi kelebihan yang ada di dalam dirinya.
Pernah dilihat oleh diri Reno gadis itu memberikan gerak-gerik yang tidak seperti biasanya. Namun Reno tak terlalu memikirkannya karena ia tak mau dihinggapi oleh rasa yang terlalu berlebihan dalam hal optimis. Rambut yang dikepang menjadi satu bagian saja, baju dan celana tiga per empat yang dipakainya, dan segaris senyuman penuh arti dari Nadva seakan membuat bingung Reno. Tak tahu segaris senyuman itu ditujukan untuk siapa. Bukankah yang duduk di teras 'LBB' bukan hanya Reno.
Biarlah hal itu teracuhkan oleh Reno dengan sedikit rasa tidak enak dalam hatinya yang semakin menyiksa kian hari, apalagi akhir-akhir ini. Seakan rasa ini tak terbendung lagi oleh daging sekepal milik Reno ini. Namun hal ini harus segera disembunyikan sebelum tambah parah keadaannya.
Saat di kelas, Reno seakan tak bisa membelokkan pandangannya walau hanya sederajat saja dari lembaran-lembaran tipis berkilau milik Nadva. Begitu menyiksa terasa. Sesekali ia berharap bahwa Nadva tahu isi hatinya. Sejurus dengan itu, Nadva juga merasakan apa yang dirasakan olehnya; harapnya.
Bagian E
Di Sekolah 44, Reno mendapat tugas untuk mengikuti suatu lomba. Afan mewakili '44' untuk lomba bidang IPA, Rio, teman sekelas Reno, mewakili lomba bidang IPS, Rika, teman sekelasnya juga, mewakili lomba Bahasa Indonesia, sedangkan Reno sendiri untuk lomba matematika.
Di '44' memang telah disiapkan bibit-bibit sejak sebelum setahun dari perlombaan itu. Jadi tidaklah aneh apabila telah adaspesialisasi di antara siswa di sana.
Hari itu, saat lomba terselenggara. Hiruk pikuk peserta lomba terasa. Langsung saja Reno memasuki ruang lomba matematika. Dikerjakannya soal-soal babak penyisihan. Keadaan hening sampai-sampai seandainya ada rambut yang jatuh pun terdengar.
Sepuluh menit kemudian setelah pengumpulan jawaban pada babak penyisihan, Reno terlihat berbincang-bincang dengan teman sesekolahannya.Gurauan pun terdengar dari mereka, sebagai bahan pelipur rasa penat yang baru dihadapi.
"Kriiiiiiing ...!!!"
Bel masuk ke ruangan lomba telah berbunyi. Semua peserta masuk untuk menanti sebuah informasi mengenai kelolosannya dalam babak selanjutnya. Satu per satu nama disebutkan. Reno lolos ke babak selanjutnya.
Babak prafinal. Adu kemampuan dalam format lisan dan cepat tepat. Disikatnya pertanyaan demi pertanyaan oleh Reno sehingga Reno mendapatkan poin tertinggi pada babak ini. Di sini pula dilihatnya Nadva oleh Reno. Tepatnya menjadi musuh dalam babak ini. Reno seakan tak mau kalah dengan Nadva yang juga jago matematika sekaligus orang yang ia taksir. Menurut Reno, ia harus lebih unggul daripada orang yang ia sukai karena menyangkut harga diri.
Reno lolos menjadi pemenang dalam babak ini. Wajah bahagia sekaligus -ah tak seharusnya diucapkan- terlukis. Nadva, ia memandang kagum pada Reno. Dilontarkannya ucapan-ucapan Nadva yang seakan mendeskripsikan siapa Reno dengan gerak bibir yang begitu mengesankan pada temannya. Fitri, nama teman Nadva itu. Teman satu kelas di sekolahnya. Boleh dibilang bahwa Fitri adalah soulmate bagi Nadva. Ke mana-mana bersama.
Reno
"Andai engkau tahu, Nadva," gumam Reno, "Betapa diriku ini ..."
Bagian F
Waktu telah berlalu. Reno meraih juara 3 pada lomba itu. Namun babak baru 'kan dimulai disebabkan hal itu.
Nadva, dalam benak Nadva
__________
Kau Reno
Mengapa harus kau Reno
Apakah tak ada yang lain selain Reno
Reno
Mengapa aku ...
Ah tidak!
Tapi ...
__________
Benak Nadva seakan dipenuhi oleh sebuah nama, -siapa lagi- yaitu Reno. Detak jantung berdetak kencang. Pandangan melayang jauh membayangkan Reno. Reno, Reno, dan Reno. Nadva merasa dirinya amat disibukkan olehnya.
Keesokan harinya di sekolah, Nadva tak bisa menahan hal ini. Diceritakannya apa yang terjadi terhadap dirinya pada karibnya, Fitri.
"Fit, aku mau ..." kata Nadva.
"Mau apa?" Fitri menanggapi.
"Eehm ... gimana ya," Nadva kebingungan untuk mengungkapkannya.
"Ayolah ... kenapa sih, emang kamu ada masalah, ungkapkan saja padaku, aku 'kan karibmu," bujuk Fitri.
"Eehm ... kamu tahu Reno, 'kan?" tanya Nadva.
"Jangan-jangan kamu ..." tebak Fitri.
"Apa kamu sudah tahu?" tanya Nadva.
"Ya iyalah, 'kan udah terlihat dari gelagatmu." jelas Fitri, "Emangnya mulai kapan?"
"Sebenarnya sih udah lama, tapi tak seperti kali ini," kata Nadva, "Kali ini aku benar-benar sulit untuk memendam ini."
"Ya, aku tahu, pasti sikapnya yang pendiam, pintar matematika, dan tak hanya itu saja, banyak kelebihannya yang lain," Fitri meyakinkan pada Nadva kalau dugaannya itu benar tentang mengapa Nadva tertarik pada Reno.
"Tapi kau harus menjaga ini, Fit!" pinta Nadva.
"OK, Teman!" Fitri memastikan.
Berbeda dengan Reno. Reno, tak ada teman untuk diajak berbincang masalah ini. Memang Afan karibnya, namun Afan tak tahu siapa Nadva secara detail. Reno hanya berjelaga dengan dirinya.
Nadva dan Fitri, sahabat karib. Penuh ...
"Eh ... Nad, apa kau tahu?" tanya Fitri.
"Emangnya ada apa?" sahut Nadva.
"Aku dapat kabar kalau Si Reno itu sudah menyukai seseorang dari salah satu temannya di '44'?" jelas Fitri.
"Kau tahu dari mana?" Nadva bangkit.
"Pokoknya ada deh, namanya Melani" kata Fitri.
"Melani ... ?" pikir Nadva, "Coba kau tanyakan saja pada Reno kalau pulang nanti!", "Kamu 'kan sudah mulai akrab dengan Reno."
...
"Ren, ngomong-ngomong kau pernah nggak naksir seseorang?" tanya Fitri.
"Memang kenapa kau tanya begitu?" sahut Reno.
"Ah nggak pa pa kok," Fitri mengelak.
"Ehmm...," gumam Reno, Fitri mendengarnya meskipun lirih terdengar.
Sejurus mata Fitri terfokus dan bertanya, "Ren, aku dengar kalau kamu suka pada salah satu temanmu di '44', namanya Melani, apa itu benar?"
"Kamu tahu dari mana?" tanya Reno.
"Ada deh," jelas Fitri.
"Apa kamu percaya dengan itu?" tanya Reno.
Fitri terdiam. Tak terucap kata darinya. Pikir Fitri mulai bercampur dengan pertanyaan Reno. Bagai badai menerpa.
Fitri mulai berkata, "Ya, aku percaya."
"Kenapa kamu percaya?" kejar Reno.
"Ya ... percaya saja, pokoknya aku percaya," elak Fitri.
"Oh ... begitu," sahut Reno.
Fitri, dalam benak Fitri
__________
Nadva, temanku
Mengapa kau dan aku sama
Tapi...
Kau adalah karibku
Biarlah untukmu saja
__________
Bagian G
Bintang-bintang bersinar di luar sana. Sedang hatiku bak sedang dirundung badai. Dewi membawakan lampion kecil. Wajahnya berseri bak bidadari. Menepis gelapnya malam. Menyempurnakan keheningan. Mata tak terpejamkan. Angan berlari sini ke mari. Tertawa riang bak tertawanya anak kecil yang lugu. Lewati lorong gelap. Sedang awan bermalu diri. Pandangan penuh dimensi lain.
Reno
"Ingin ku bersua denganmu, Nadva!" Reno ber- -tak semuanya bisa diungkapkan dengan kata-kata-, "Nadva, Nadva, Nadva, Nadva, Nadva, ..."
Bagian H
Di kelas itu. Nadva bergelagat tak seperti biasanya. Reno yang hanya bisa seperti biasanya. Gayanya yang khas. Duduk menumpu dengan pandangan mata sayup nan kosong. Dilihatnya Nadva oleh Reno. Nadva, kau semakin menarik hati saja. Putihmu yang diterpa cahaya bak menyilaukan hati Reno yang dirundung kasmaran. Memang kau diciptakan begitu indah. Rambutnya yang panjang nan hitam pekat berkilauan menculik jiwa yang kosong akan cinta. Lalu kau racuni hati ini dengan cintamu. Begitu kejamnya kau atau memang aku saja yang bodoh.
Sesekali Reno melihatnya menoleh untuk bertanya ke salah satu teman di belakangnya. Terasa sesak dada ini dengan rautnya. Ingin meledak saja tubuh ini. Detak jantung yang semakin keras melengkapi rasa ini. Dimabukkan oleh rasa ini. Al-'Isyq atau yang biasa disebut mabuk cinta kelihatannya bercokol pada Reno.
Di pihak lain. Nadva juga merasa hal yang sama. Reno berpikir tentang peluang untuk Nadva suka padanya adalah amat kecil sekali. Reno berpikir dengan menggunakan dasar-dasar peluang yang telah ia pelajari. Memang dia penggila matematika. Hampir semua aspek dikaitkan olehnya dengan matematika. Namun ia tidak berpikir tentang sebuah peribahasa "Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu". Nadva itu gadis biasa, memungkinkan dirinya untuk menyukai siapa saja termasuk Reno.
Bagian I
Sebulan telah berlalu. Ada beberapa pendatang baru di kelas kami. Terlalu berlebihan apabila disebutkan semuanya. Surya, salah satu yang nantinya menjadi teman paling akrab Reno. Surya, dia anak dari sekolah '45'. Satu kompleks dengan sekolah Nadva. Nadva sekolah di '46'. Sedikit banyak ia tahu tentang Nadva.
Surya merupakan anak yang pintar. Mulai dari awal ia sekolah di sana hingga kini, ia selalu menyandang juara I di kelasnya. Bayangkan saja betapa hebatnya dia. Tidak menampik pula si Nadva. Nadva selalu juara I di '46' seperti halnya Surya. Boleh dibilang Nadva dan Surya adalah bintang di masing-masing sekolahnya.
Dimulainya oleh Reno berkenalan dengan Surya.
"Hai, perkenalkan namaku Reno."
"Ya, perkenalkan juga, Surya."
Awal yang baik. Diteruskan oleh mereka obrolan itu. Keduanya saling bertukar pengalaman di sekolah mereka masing-masing.
Nadva
"Kenapa kau sekarang acuh terhadapku, Ren?" katanya, "Kau terlihat sombong di mataku, kau tak mengindahkan kata-kataku", "Kau hanya menjawab 'hai' tanpa apapun setelahnya."
"Apa maksudmu?" kesalnya.
Bagian J
Saat itu, saat Ramadhan telah datang. Reno dan beberapa temannya, termasuk juga Afan, ditugasi oleh sekolah mereka untuk mewakilinya dalam pesantren kilat antarsekolah se-Kecamatan. Ramadhan kali ini akan menjadi saat yang sangat mengesankan bagi Reno.
Hari itu, hari Jumat tepatnya, Reno dan ketiga kawannya pergi ke sekolah '50' untuk mengikuti kegiatan tersebut, Pesantren Kilat Antarsekolah Se-Kecamatan. Reno dan Afan beserta dua adik kelas mereka, Ainin dan Fanina diantar oleh guru agama mereka, namanya Pak Jefry, guru dengan kharisma yang menakjubkan bagi mereka. Mereka berempat langsung disuruh masuk ke tempat masing-masing. Yang laki-laki ke tempat laki-laki dan yang perempuan ke tempat perempuan. Memang seharusnya dipisah.
Namun sebelum ke ruangan mereka masing-masing, mereka melihat-lihat mungkin saja ada yang menarik. Tak sengaja dilihatnya oleh Reno, Fitri. Reno menduga pasti ada Nadva juga. Karena Nadva dan Fitri adalah karib. Mereka selalu terlihat bersama sejauh yang Reno lihat hingga saat ini.
Deg ... deg ...
Detak jantung Reno bergetar tak henti-hentinya. Memang seseorang yang mengasihi seseorang akan merasa begitu apabila mendengar nama kekasihnya disebut, apalagi ketika memungkinkan ia bertemu dengan kekasihnya itu maka akan lebih dahsyat lagi dari itu. Beginilah para pecinta. Matanya selalu panas, baik pada perjumpaan maupun perpisahan.
Tak lama kemudian, Reno mendekati Fitri dan menyapanya.
"Hai, kamu ikut juga," sapa Reno.
"Reno, kamu ... ," sahutnya dengan sedikit rasa kaget.
Betapa tidak, hampir setiap acara di luar sekolah, mereka sering bertemu. Apa ini hanya kebetulan belaka.
Tak lama setelah Reno berbincang-bincang dengan Fitri, Nadva menampakkan batang hidungnya. Sejurus Nadva menyapa Reno dengan foil yang tak biasa, agak malu. Bukankah itu terlihat dari paras putihnya yang diliputi mendung tipis di malam hari.
"Hai, Ren," sapanya.
"Hai juga," sahut Reno dengan hati yang meluap-luap pada waktu itu.
Reno tak sanggup melafalkan nama 'Nadva' pada di antara dua gerahangnya. Amat sulit baginya. Setelah itu keduanya saling malu bak kucing saja.
Tanda masuk telah berbunyi. Semua santri pada waktu itu memasuki ruangannya masing-masing. Menyiapkan apa-apa yang dibutuhkan. Lalu mereka wajib untuk memasuki masjid untuk persiapan 'pembukaan' acara itu. Suasana bak di pesantren saja. Setelah acara itu dilanjutkan dengan sholat jumat. Yang perempuan sholat duhur. Setelah itu ada waktu senggang yang diberikan untuk istirahat.
Reno dan Afan berkenalan dengan semua santri dari sekolah lain dan tukar pengalaman. Begitu pula yang terjadi pada kaum hawa, berkenalan sesama kaum hawa. Ini adalah waktu yang cocok untuk memperbanyak teman.
Ternyata tidak hanya Nadva saja yang ikut dalam PK (Pesantren Kilat), Audren dan Meloisa juga ikut juga. Audren, tetangga Reno di kampungnya. Reno dan Audren amat akrab karena memang ada sejarahnya yang tidak seharusnya dibahas kali ini. Meloisa, teman Audren yang sebenarnya tidak mengenal Reno, tapi akhirnya ia kenal dengan Reno berkat perantara Audren. Audren dan Meloisa berasal dari sekolah '47'.
Tak lama setelah itu, Meloisa mengeluarkan jurus-jurusnya untuk menaklukkan Reno. Meloisa tertarik pada Reno karena Audren yang terlalu mendeskripsikan siapa sebenarnya Reno. Meskipun begitu, Reno seakan tak bergeming karena Reno kali ini amat suka pada Nadva.
Bagian K
Esok harinya, di pagi hari setelah sholat subuh dan acara-acara pagi telah selesai, para santri laki-laki bermain sepak bola. Setelah itu mereka semua mandi dengan bergantian karena kamar mandinya hanya berjumlah empat, dua untuk laki-laki dan dua lagi untuk perempuan.
Setelah mandi, hawa kesegaran muncul di muka para santri, meskipun pada waktu itu mereka sedang berpuasa. Waktu istirahat masih panjang, hingga jam sembila pagi. Reno terlihat duduk mengobrol dengan Afan, karibnya. Sekonyong-konyong datanglah Fitri mendekati mereka berdua. Fitri mendahului mereka menyapa.
"Assalaamu 'alaikum," salamnya; bukankah sekarang Ramadhan, semuanya harus serba islami -pikir Fitri-, namun bukankah lebih baik kebiasaan itu dilestarikan meskipun di luar bulan Ramadhan.
"Wa'alaikumus-salaam," serentak mereka menjawab.
"Sedang apa? Aku nggak ngganggu kalian, kan?" katanya dengan hati yang rendah.
"Ah nggak pa pa kok, hanya ngobrol aja," sahut Reno, "Oh ya, kenalkan ini Afan, temanku!"
"Afan ... , sedangkan namamu?" tanya Afan.
"Fitri," jawabnya.
"Salam kenal," kata Afan.
"Sama-sama," jawabnya.
Sesaat kemudian,
"Ren, ehm ... kamu mau nggak ngisi biodatamu di sini?" tanya Fitri sambil menyodorkan buku kumpulan biodata tentang teman-temannya.
"Wah, aku merasa terhormat nih, bisa ngisi di sini," ocehnya.
"Ehm ... kamu juga Afan," pinta Fitri.
"Aku juga?" tanyanya.
"Ya nggak pa pa lah, mumpung ..., sekalian aja, OK?" kata Fitri.
"Baiklah," jawabnya.
Di pertengahan Reno mengisi biodata, terpercik rasa ingin tahu tentang siapa saja yang telah menulis biodatanya di buku tersebut. Dilihat-lihatnya lembar per lembar hingga ia berhenti pada halaman yang berisi biodata si Nadva. Dilihatnya dengan seksama.
"Ehm ...," Reno dengan ekspresi seakan mengerti dan menghafal semua yang termaktub di dalamnya.
Reno
.: RINDUKU :.
angan
melayang
hilang
datang
teduh wajahmu
rekah senyummu
luapan marahmu
maafmu
jabat tanganmu
ku suka
mata
kata
asa
rindu
sedu
haru
untukmu
hatiku
Bagian L
Nadva, dalam benaknya
__________
Apakah Reno suka padaku? Ah, aku yakin Reno menyukaiku!
__________
Bagian M
Tak lama kemudian Nadva datang. Terlihat oleh Nadva ternyata Fitri sedang ngobrol dengan Reno dan salah satu teman Reno yang Nadva belum mengenalnya. Didekati olehnya mereka bertiga. Salam pun terucap dari bibir kekasihku ini. Begitu indah ucapannya, begitu merdu suaranya. Kali ini Nadva terlihat tidak terlalu ..., tak seperti dulu lagi ketika bertemu dengan Reno. Namun hal itu tak berlaku bagi Reno. Setelah itu, mereka mengobrol pamjang lebar. Kemudian terdengar bel pertanda istirahat telah selesai. Materi telah menanti mereka.
Setelah materi mereka sholat dhuha di tempat biasanya lalu diteruskan dengan hafalan-hafalan. Di saat yang seperti itu, Reno amat menikmati 'PK' kali ini, mungkin pula keberadaan Nadva di sana yang membuatnya nyaman. Sesekali ia memikirkan Nadva, sesekali pula ia tak bisa menahan rasa ini. Seandainya Nadva tahu ...
Di 'PK' kali ini banyak pengalaman yang membuat Nadva semakin tertarik dengan si Reno. Lagi-lagi Reno mengalahkan Nadva dalam beberapa lomba yang diadakan dalam 'PK' kali ini. Dan tak kalahnya lagi, pada pengumuman terakhir Reno terpilih sebagai santri terbaik pada 'PK' kali ini. Reno, memang unik.
Di sisi lain, Reno pun semakin tertarik pada Nadva. Betapa tidak, Nadva begitu memesona, lebih-lebih ketika ia memakai kerudung berwarna cokelat itu dan memakai busana muslimah. Subhaanallaah, betapa cantiknya kau Nadva. Apakah yang gerangan membuatku semakin seperti ini? tak kuat rasanya menahan. Ingin kutulis cerita tentang diriku dan dirimu kemudian kusimpan untuk kubaca ketika ku kesepian.
Pernah kudengar syair yang begitu menggambarkan betapa sedihnya seorang pecinta.
Tiada yang lebih sengsara di dunia ini daripada seorang pecinta
Sekalipun menemukan manisnya hawa nafsu
Engkau melihatnya menangis di setiap keadaan karena takut perpisahan atau karena kerinduan
Maka ia menangis jika jauh karena beban rindu kepadanya
Ia juga menangis jika dekat karena takut perpisahan
Matanya panas ketika perjumpaan
Dan panas pula ketika perpisahan
Mungkin inikah yang sedang meliputi diri Reno.
Bagian N
Malam itu ketika 'PK', Audren dan Meloisa terdengar ramai dengan membawa banyak bungkusan; kelihatannya habis dari Swalayan. Padahal pada peraturan 'PK' tak diperbolehkan untuk keluar dari area tersebut, kecuali hal-hal yang darurat saja. Tapi untuk anak dua ini baginya pengecualian. Mereka amat lihai dalam beralasan pada petugas 'PK'. Makanan ringan, ya itu yang mereka bawa. Mereka bagikan ke semua teman-temannya di ruangan putri. Afan dan Reno tak ketinggalan pula mereka beri karena lelaki yang paling ia kenal adalah Reno dan Afan.
Sorot mata Meloisa pada Reno amat terlihat. Mencurigakan, ada batu di balik udang; maksudnya ada udang di balik batu. Tapi lebih cocok kalau ada batu di balik udang karena tentu ada maksud yang lebih besar daripada hal pemberiannya itu; bukankah begitu.
Diacuhkan pula sorot mata Meloisa oleh Reno. Ah, biarkan saja Meloisa begitu; bukankah itu haknya, tapi mengapa terasa tak nyaman oleh Reno.
Sekelebat Nadva lewat -pastilah dengan Fitri- di depan Reno dan ketiga temannya. Reno hanya memandangi saja bak tak mau terhalangi oleh ocehan di sampingnya. Dibalasnya pula oleh Nadva dengan memandang Reno. Reno dengan segera memalingkannya, namun hal itu keburu diketahui oleh Nadva terlebih dahulu.
Nadva
"Nggak percaya!" jawab Nadva.
"Kenapa nggak percaya?" tanya Reno.
"Kok tumben aja," jawab Nadva.
"Ooo ... ," kata Reno, "Tapi aku ini memang Reno", "Oh ya, gimana kabarmu?"
"Baik," jawabnya, "Kamu?"
"Oh ... baik juga," jawab Reno.
...
"Kamu tahu perkembangan, ya," salut akan pengetahuan Reno terhadap dirinya.
"Ya iyalah", jawab Reno.
"Ehm ... boleh minta nomormu?" tanya Reno.
"6 ... 0 ... 6 ...," diktenya.
Reno mengambil pena dan kertas tanpa menghiraukannya.
"Boleh ulangi lagi, nggak?" tanya Reno.
"Ulangi lagi? OK ... 606 ... -maaf tak bisa diutarakan di sini- dst." katanya, "Coba engkau ulangi!"
Reno mengulangi nomor itu.
"Ehm ... kamu pake' 'starone', ya?" tanya Reno.
"Makasih ya," kata Reno.
"Sama-sama," kata nadva.
"Udah dulu ya, Assalamu'alaikum," kata Reno.
...
Bagian O
Sekonyong-konyong Nadva datang dengan ekspresi yang tidak seperti biasanya. Waktu itu Reno duduk dua bangku dari sebelah kiri di bagian belakang, padahal biasanya Reno duduk di bangku nomor dua dari kanan di bagian belakang. Memang seakan semua telah diatur.
Nadva langsung memarahi Reno habis-habisan. Tak diberi kesempatan olehnya kepada Reno untuk berkata meskipun seucap kata pun. Reno hanya melihat Nadva dengan tatapan yang seakan-akan tidak mengerti apa yang sedang diucapkan Nadva. Oh, Nadva ... apakah gerangan yang membuat dirimu seperti ini halnya. Apa maksudmu?
Reno diam seribu bahasa setelah kejadian yang baru berlangsung. Untung saja tak ada banyak teman-teman Reno waktu itu. Hanya Reno, Nadva, Fitri, dan dua anak lagi. Nadva pun diam dengan seribu amarah dalam hatinya. Oh, Nadva ... janganlah engkau marah! Sungguh diriku menyukaimu. Betapa besarnya cintaku padamu.
Dipikirnya kejadian itu. Apakah penyebanya?
Reno teringat. Ketika itu ...
__________
Fitri pernah bertanya kepadaku. Tentang Melani, ya benar tentang dia dan aku, tentang hubunganku dengan Melani. Tidak hanya itu saja, ia juga pernah bertanya tentang Arisha. Arisha, bukankah ia hanya teman '44'-ku saja, tidak lebih dari itu. Apakah ia mengira bahwa aku suka pada Arisha?
Bukankah aku juga pernah bilang padanya bahwa pernah sesekali aku menyukai Melani meskipun ia tak seiman denganku. Bukankah Melani itu termasuk ahlul-kitab? Bukankah lelaki muslim boleh menikahi perempuan ahlul-kitab? Tapi untuk apa menikahinya? Bukankah masih banyak perempuan di dunia ini?
Memang aku tak pernah berkata bahwa aku menyukai Nadva. Namun, apakah hal itu menghalangi Nadva untuk tahu bahwa aku menyukainya? Nadva, aku merasa kau telah tahu bahwa diriku itu amat menyukaimu. Betapa tidak? Kau cantik, pintar, memesona, dan kebaikan-kebaikan perangaimu yang lainnya yang pernah kuketahui. Bukankah kau telah melihat bagaimana diriku ketika dekat denganmu?
Nadva, apakah kau membalas cintaku ini dengan hal itu? Aku tahu. Aku mengerti. Aku paham. Bahwa ternyata kau pun menyukaiku. Betapa tidak? Mengapa pula kau marah kalau bukan karena kecemburuanmu? Oh, Nadva. Kau begitu membuatku semakin menggila saja.
__________
Reno
Aku teringat oleh sebuah syair.
Bagaimana mungkin orang yang jatuh cinta dapat melupakan kekasihnya?
Sedangkan namanya telah terukir di hatinya.
Syair ini amat menggambarkan tentang diriku yang menggila karena cinta. Cinta yang meluap-luap. Cintaku pada dirinya, Nadva -ku menyebutnya-.
Bagian P
Hari-hari 'kan semakin begitu membosankan. Betapa tidak? Perseteruan mereka belum berakhir. Diam dan hanya diam. Reno hanya menatap Nadva saja seperti biasanya tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya; begitu pula Nadva.
Saat itu, saat pelajaran Bahasa Indonesia. Kak Adit, perempuan dengan perawakan yang tak begitu gemuk juga tak begitu langsing; ia guru kami. Betapa tidak? Sekonyong-konyong saat pelajaran berlangsung, saat pelajaran menentukan jenis paragraf; ia menjadikan Nadva dan Reno sebagai obyek. Reno merasa bahwa apa yang terjadi padanya dan Nadva ternyata telah menjadi rahasia umum. Cepat sekali kabar itu menyebar.
Reno dan Nadva saling diam. Semua seakan fokus pada pelajaran. Tak ada kata maaf yang terucap dari mulut mereka berdua. Hingga kapan ini 'kan berlangsung?
Bagian Q
Setelah dua bulan kemudian.
Saat itu, saat pelajaran Bahasa Indonesia juga. Ada-ada saja Kak Adit ini. Sehubungan dengan akan berakhirnya masa pendidikan jenjang itu, semua anak di 'LBB' harus saling berjabat tangan sebagai tanda kerelaannya untuk memaafkan sesama selama setahun ini berlangsung. Dimulai dari barisan depan ke belakang. Saat itu, Reno duduk di belakang Nadva. Sekonyong-konyong Nadva menyodorkan tangannya pada Reno dengan tatapan yang begitu ... Reno diam. Sejurus Reno melihatnya dengan tatapan yang begitu ... juga. Bersentuhanlah kedua tangan orang yang sedang dilanda ... ini. Sungguh sentuhannya begitu lembut bagi Reno. Tak 'kan dilupakan olehnya tentang hal ini, walau sedikit pun.
Semua cerita di 'LBB' telah berakhir. Namun, tidak berlaku di lain tempat! Takdir 'kan terus berputar senada dengan berputarnya waktu.
Reno dan Nadva
...
Beberapa tahun kemudian ketika mereka reuni ...
Reno telah beristrikan seorang wanita pilihannya, tentunya bukan Nadva. Nadva saat itu masih lajang; karena kesibukannya sebagai wanita karir. Dan teman-teman mereka telah banyak yang mempunyai momongan; namun tak berlaku untuk Reno. Reno dan istrinya masih belum diberi; padahal Reno amat merindukannya. Reno mempunyai bayangan ia mempunyai banyak buah hati yang nantinya dapat dibanggakan dan meneruskan perjuangannya.
Saat itu terjadi percakapan antara Nadva dan Reno
"Hai, apa kabar?" Nadva mendahuluinya.
"Baik-baik saja," jawab Reno, "Bagaimana denganmu?"
"Sama," katanya, "Oh ya, bolehkah aku berkenalan dengan wanita di sampingmu itu?"
"Ini Salma, istriku," jawabnya.
Ternyata dugaan Nadva benar bahwa Reno telah beristri.
"Oh ya, bagaimana denganmu? Engkau ke sini sama siapa?" tanya Reno.
"Sendirian," jawabnya.
"Belum?" tanyanya.
"Ya," jawabnya dengan berat.
...
Banyak babak telah terlewati hingga saat di mana Nadva dan Reno hendak menikah. Poligami, ya itu yang terjadi. Salma, seorang istri yang amat dicintai oleh Reno karena perangainya yang amat lembut dan sabar. Wanita mana yang mau dimadu? Kecuali wanita yang benar-benar paham akan agamanya. Reno mencintai Salma karena agamanya. Reno mencintai Nadva pun karena agamanya. Ketika itu Nadva telah luluh hatinya dengan perkataan yang meneguhkan hati; yang dulunya amat menentang keras poligami, namun tidak berlaku untuk setelahnya. Yang dulunya belum menutup aurat; sekarang telah rapat tertutup. Hal ini berkat kehendak Allah; memberi petunjuk Nadva lewat Reno yang pada saat itu telah mengerti tentang manhaj yang amat diberkahi ini; manhaj salaf -manhaj yang para Sahabat berdiri di atasnya-.Nadva telah berubah 180 derajat.
...
Saat itu begitu memilukan. Nadva yang pada saat itu telah resmi menjadi istri kedua Reno; mendadak meninggal di tempat duduknya. Begitu besar ujian yang dihadapi Reno. Reno dan Nadva baru menikah kemarin. Saat walimah, saat di mana teman-teman Reno yang seharusnya memberi ucapan selamat malah berganti dengan ucapan bela sungkawa.
Tak dirasa oleh Reno bahwa air matanya telah mengalir karena tangisnya dalam hati akan cinta pertamanya yang telah pergi mendahuluinya. Salma pun menghibur Reno yang kalut saat itu. Salma memang istri yang baik. Diucapkannya kalimat-kalimat yang membuat Reno sabar akan apa yang telah dialaminya. Salma pun sebenarnya merasa amat sedih sepeninggal Nadva; karena menurutnya Nadva adalah teman yang baik baginya, juga sebagai harapan bahwa Nadvalah yang nantinya akan memberikan buah hati bagi Reno karena Salma tak mungkin memberikannya.
Telah dikuburkan Nadva. Reno seakan tak bisa membendung air matanya akan kerinduannya pada Nadva yang telah pergi.
Diingatnya oleh Reno saat itu, saat berdoa di kala Reno masih remaja
__________
"...
Ya Allah, berikanlah petunjuk pada Nadva akan manhaj ini; manhaj yang Engkau berkahi ini. Jika baik bagiku maka jadikanlah Nadva istriku di dunia atau di akhirat atau pada keduanya. Sungguh aku mencintainya ya Allah.
..."
__________
Namamu
dengannya ku mengenalmu
Namamu
dengannya ku memanggilmu
Namamu
dengannya ku menyanjungmu
Namamu
dengannya ku mengingatmu
Namamu
dengannya ku merindukanmu
Namamu
dengannya ku mengenangmu
Namamu
'kan ku kenang selalu
10:16 PM 12/17/2007
- SELESAI -
***
Ada beberapa kesalahan penulisan di karya itu, namun untuk menjaga originalitas karya, kesalahan itu biarlah tetap ada.
waw udah mau ulang tahun lagi..
BalasHapusselamat ulang tahun yaa..
inget dulu waktu pertama kali berkunjung kesini templatenya item, penuh dengan kesan gothic gitu.. hhe
haha ... itu masih di awal-awal ngeblog diph :D
BalasHapusMet ultah. Gak ngasih kado, ngasih komen aja yah...
BalasHapusTemplatenya jangan pake tema sedih dong, cheer up. Biar alam bawah sadar membawa kita ke perubahan lebih baik dan membahagiakan ...(kayak di buku The Secret)...
oke mbak Ami
BalasHapuskapan2 aku ganti kalo sempet buat :)
senengnya yang nambah umur,eheheh :)
BalasHapussemoga lebih baik dari sebelumnya, n' jangan hiatus lama-lama John...
lu sering nulis yah?? ikutan proyek yang gw bikin yah.... buka aja http://emmanuelthespecialone.blogspot.com/2011/02/mari-berbuat-suatu-buat-anak-anak.html
BalasHapusyey, wah udah 2 tahun eksis selamat yay..
BalasHapuswah..
BalasHapushebat
mau 2 tahun ya..
:D
ceritanya bagus
hampir 1 jam aku bacanya
hehe
panjang euy
tapi gak ada yang terlewatkan
:D
@Ajeng Sari Rahayu: wah kenapa saya ga boleh hiatus lama2? :D
BalasHapus@Noeel-Loebis: bukan maksud saya menolak om
saya sudah punya proyek sendiri yang tahun ini bakal ane rilis di blog ane yang akan ane bikin :D
@Rose: makasih atas ucapannya :)
@AkabeD'SiLa: haha ... makasih udah baca karya pertamaku :)
panjaaang... Ijin copy dulu, entar pas sempet saya baca deh!. Boleh yaa John *wink.wink* hahahaha
BalasHapus#jujur banget
#dikeplak
tapi liat akhirnya koq sad ending yah?
ya lumayan sad ending sih om :)
BalasHapussilakan dicopy kalo cuma mau dibaca :)
weeww ternyata pny jiwa seni jg ya, co cwiit...hehhehe, bisa menulis dg apik, lanjutkan!....
BalasHapusmakasi mbak tiwi :)
BalasHapusyup, itu tulisan pertamaku dengan PC
BalasHapusdulu saat SD malah aku pernah nulis hingga 2 buku
sayang sekali menghilang bukunya :)
makasih atas suntikan semangatnya om :)
apik mas john.. tokoh utama mati di akhir cerita ;)
BalasHapuswah udah 2 tahun toh
BalasHapus@bimacruzz: haha, akhirnya ada media untuk menuangkan karya ini, setelah lama ga pernah ane publis
BalasHapus@andi sakab: betul bang :)
wah sudah hampir satu tahun ya.... selamat deh...
BalasHapus2 tahun om :D
BalasHapusMasih tanya kenapa ???baiklah, tunggu postinganku melarangmu hiatus lama-lama :p
BalasHapusoke, aku tunggu postinganmu :D
BalasHapuswah panjangnyoooo...
BalasHapusaq baru sampe bagian J nih, besok lanjut lagi bagian K.. :D
#gapapa kn bersambung?? :p
terserah, silakan diteruskan besok
BalasHapusmaklumlah, ada pembaca yang menghabiskan 1 jam untuk membacanya
la saya sendiri aja dulu buatnya 1 bulan :D
walah, saya aja masih setahun lebih dikit.....
BalasHapuskarya tulis nya bagus, butuh waktu berapa lama tuh ketika mengarangnya di jauh2 tahun lalunya?
BalasHapuswah...
BalasHapusNice Posting..
:)
gak happy ending neh..
hukz..hukz..
:)
SALAM BERKAWAND
wiew panjang amet yah @_@ diikutkan lomba menulis saja tuh, saya dukung deh ^^
BalasHapusternyata blog ini lebih tua 2 bulan dati blog q, blog aq lahir bulan april 2009 tepat 2 tahun tapi tanggalnya lupa
BalasHapusyang dulu tak edit-edit lo.. ilang d maem virus. huhu
BalasHapusselesaiii!!
BalasHapusendingnya bagus.mksudku puisinya :D
@Blog Santai: begitulah :)
BalasHapus@diarykudiblog: 1 bulan :D
@anggar berkawand: salam berkawan juga :)
@ica puspita: makasih atas dukungannya :)
@Rizky2009: haha ... gitu yah :D
@iniduniakitakawan: haha, salah sendiri :D
@YeN: wekeke ... kalo puisi mah jangan ditanya lagi :D
hehehehe.. panjang amir... bener tuh sepanjang jalan kenangan.. met ultah iia kang :)
BalasHapusmakasih atas ucapannya gan :D
BalasHapusbeneran nih panjang halaman menghabiskan 11 kertas A4?
BalasHapusdi footer tertulis 10:16 PM 12/17/2007
artinya blog ini sudah lebih dari 2 tahun dong
bener, r10
BalasHapusitu memang aku buat tahun 2007 di notepad
namun baru aku publis di blog ini sekarang
kalo blog ini sih masih 2 tahun :D
wahaaaa panjang banget tulisannya ;D kenapa ga dibikin format bukunya. biar makin keren ☺
BalasHapuslagi males bikin yang bentuk bukunya :D
BalasHapus