Persona Intikalia

18 Jun 2012

Tidak Selamanya Putus Itu Menyakitkan (Bagian 1)

Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu ...

Di sebuah malam aku terbangun. Tepatnya sekitar seminggu yang lalu, aku tidak ingat tepatnya. Dulu, sebelum aku mengenalnya, jam segini aku memang sudah bangun, tapi dalam keadaan belum tidur. Berbeda dengan saat itu, saat itu aku terbangun dari tidurku, karena aku memang biasa dibangunkan pagi (kelewat pagi bagi orang biasa) olehnya. Itu pun juga atas permintaanku. Kemudian apa yang aku lakukan sepagi itu. Aku ingin mencoba mendekatkan diri pada Tuhan-ku. Setelah sholat, aku duduk sebentar dan memuhasabah diriku. Aku mengingat apa saja yang telah aku lakukan seharian kemarin. Hingga aku menemui sebuah pertanyaan besar, "Kenapa aku pacaran?".

Di sinilah pertempuran hati dimulai. Dulu aku sangat antipati dengan pacaran, namun mengapa sekarang aku malah melakukan pacaran. Tapi, apakah aku harus putus dengannya? Otakku terus berputar, berlogika semaunya. Tak hanya itu, di lain sisi, dadaku mulai sesak tidak karuan. Seharusnya seseorang yang selesai sholat dadanya lapang, ini aku beda. Karena ini dadaku menjadi sesat. Otakku sempit. Dulu, orang lain yang kulawan (red: kunasehati untuk tidak pacaran), sekarang adalah diriku sendiri. Ini tidak beres. Ada yang salah dengan langkah yang aku ambil.

Kemudian, paginya aku melupakan hal itu. Aku mencoba berdamai dengan prinsipku dengan berlagak pikun dengan apa yang pernah aku pegang. Tidak, ternyata tetap saja. Aku tetap dihantui oleh hal itu. Setiap kali, hampir setiap saat aku merasa ada yang salah dengan jalan yang aku ambil. Ya, ada yang salah. Aku diam saja, aku merahasiakan ini darinya, awalnya. Aku tidak mau keresahan ini mempengaruhi hubunganku (red: pacaran) dengan dirinya.

Seiring dengan jalannya waktu, aku merasa aku semakin posesif terhadap dirinya. Begitu pula dengan dirinya, dia semakin posesif dengan diriku. Aku sih terima dengan hal itu. Namun, sesekali dia menyadarkan pada diriku bahwa aku tidak punya hak atas dirinya, dengan sikapnya padaku. Aku semakin merasa, aku telah jauh dari tujuanku menjalin hubungan dengannya. Tujuanku bukan ini, ini akan menghancurkan kami cepat atau lambat. Ya, kami memang saling cinta, tapi bisa saja ketika tingkat posesif yang tinggi membutakan segalanya. Posesif akan mengarahkan pada tingkat penghambaan melebihi pada-Nya. Aku pun merasa hubungan ini mulai tidak sehat.

Tak hanya itu, dulu aku dan dirinya juga saling memahami kesibukan masing-masing. Namun, lama-kelamaan kami semakin tidak tolerir terhadap kesibukan masing-masing. Rasanya aku harus bersama dengan dirinya, walau hanya sebatas logikal. Awalnya aku juga berpikir tidaklah masalah jika berpacaran jarak jauh (red: LDR). Tidak akan mungkin terjadi pelanggaran fisikal karena pacaran ini. Karena LDR hanyalah bersifat logikal. Namun, setelah lama menjalani, aku mulai sadar, kami telah melakukan pelanggaran secara logikal, posesif, ya itu namanya. Aku juga merasa, bahwa kami sudah mulai menanggalkan rasa malu. Dulu saat pertama kali bertemu, melihat wajahnya saja malunya bukan main. Lama-kelamaan, kami sudah tidak malu melihat wajah masing-masing. Bagaimana kami bisa saling melihat wajah? Bukankah teknologi sudah canggih, coba pikir sendiri :P

Kami juga sering saling ngambek setiap keinginan/permintaan kami tidak dikabulkan. Ya, karena inilah kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan malah terbengkalai. Aku semakin yakin kalo hubungan (red: pacaran) ini harus segera diakhiri. Aku pun mulai mencari cara yang paling halus hingga yang paling kasar. Aku bingung sekali saat itu harus berbuat bagaimana. Jika aku tidak mencintainya lagi, itu mudah saja melakukan "putus" dengannya. Masalahnya adalah aku masih mencintainya. Ya, aku sangat mencintainya. Banyak alasan yang membuatku mencintainya. Dia memang bukan wanita paling cantik di dunia ini, namun aku melihat wajahnya saja aku sudah bisa tersenyum dari kesedihan. Dia juga bukan wanita yang terkenal, dia hanyalah blogger, seperti halnya dengan diriku. Namun dia berhasil menaklukkan hatiku yang kaku ini. Jika dia tidak hebat, tentu aku tidak akan pernah berpikir untuk berpacaran dan melawan prinsipku.

Kebenaran itu ialah yang menentramkan hatimu. Sedangkan dosa itu yang meresahkan hatimu ...

Aku semakin bingung dengan keadaan seperti ini. Apa kata orang jika aku menyia-nyiakan cewek sebaik dia. Apa kata orang jika aku menyia-nyiakan cewek yang sudah jauh-jauh aku kejar hingga ke Purwokerto. Apa kata orang jika cinta kami (red: pacaran) ini hanya berjalan hanya 2 bulan saja. Itu masih apa kata orang. Apa anggapan dirinya padaku jika aku memutuskan dirinya seperti ini. Apa anggapan dirinya terhadap apa yang pernah kami perjuangkan. Apa anggapan dirinya terhadap sikapku yang seenaknya sendiri ini. Sikap yang hanya peduli dengan prinsipnya sendiri tanpa mempedulikan sakitnya hati orang lain.

16 Juni 2012, jam 13.00, aku SMS dia lalu minta putus. Dia menjawab SMS ku dengan emotikon senyuman :-). Lalu dia SMS lagi dan berpesan agar aku tetap menjaga kebiasaan bangun pagi walau tanpa bantuannya lagi. Aku pun lega. Kemudian dia SMS lagi, dia tiba-tiba marah besar. Aku lupa, aku belum menghapus tulisan di blog kolaborasi kami. Maklum, sempat sebelum aku meminta putus, aku dan dia sempat bersitegang karena posesif-ku terhadap dirinya. Dia tidak terima dengan apa yang aku tulis. Emang aku keterlaluan sih kalo aku pikir-pikir lagi. Aku pun meminta maaf atas hal itu. Dia masih tidak terima dengan itu. Sepertinya dia juga tidak terima lagi dengan keputusan "putus" yang aku ambil ini. Dia melihat kejanggalan yang banyak dalam hal ini.

Kami pun masih berdebat dalam SMS. Kemudian karena aku semakin kalut dan tidak bisa SMS-an lagi dengannya. Aku tidak sanggup. Aku masih cinta padanya, tapi aku tidak bisa menarik apa yang telah aku putuskan. Dia sudah terlanjur membenciku dan diliputi kemarahan. Sepertinya dia ingin membalas perlakuanku ini, tapi tak bisa. Karena aku tidak menghiraukannya. Aku tidak membalas SMS-nya. Sempat aku mengangkat teleponnya sekali, kemudian aku mendengar pekikan suaranya, "Iska jahat, Iska jahat". Hampir saja air mataku jatuh saat itu. Mataku sudah berkaca-kaca. Aku pun semakin kalut. Untung saja teman-teman lab-ku menenangkanku. Aku pun mencoba menghibur diri dengan mengunjungi acara Cosplay di kampusku yang bisa aku jangkau dengan 10 menit jalan kaki dari lab-ku. Setiap kali aku melihat cewek berkerudung dan berkacamata, aku mengingat wajahnya, lalu berkaca-kaca. Ya, aku masih mencintainya. Aku tidak bisa membohongi diriku, aku masih mencintainya.

Dia pun menelponku berkali-kali. Aku selalu menutupnya. Aku tidak sanggup. Ya, aku benar-benar tidak sanggup. Keadaanku sangat dilematis saat itu. Namun, aku masih bersikukuh untuk tetap harus putus dengannya. Kemudian dia SMS aku lagi, dia mengatakan ingin mendengar suara terakhirku. Aku tidak sanggup, tepatnya aku tidak mau. Aku tidak mau jika aku mengangkatnya hal itu akan menjadi saat terakhir antara dirinya dan diriku. Dia pun mendesakku. Kemudian aku mematikan hapeku, lalu sholat ashar agar lebih tenang. Aku menghidupkan hapeku lagi, lalu dia meminta untuk melalukan Video Call klarifikasi semua ini jam 4 sore. Saat itu aku masih belum siap, aku takut akan semakin menyakitinya. Akhirnya deal jam 8 malam. Aku pun pulang dari lab-ku dengan gamang. Jam 7 lebih 10 menit, aku sampai di rumah, lalu aku sholat 'Isya. Pukul 7.40 malam aku selesai sholat, lalu aku menghidupkan laptopku menunggu hingga jam 8.

Hatiku sungguh tak karuan saat itu. Aku hanya berdoa, setidaknya setelah Video Call ini masalah bisa terselesaikan dengan damai. Kemudian aku membuat peraturan yang aneh dalam Video Call kali ini. Video Call hanya berlangsung 14 menit. Apa pun harus selesai dalam 14 menit. Mustahil bukan? Itu tidak mustahil. Karena aku tidak ingin terlihat menangis di depannya. Meskipun akhirnya malah diriku lah yang membuatnya menangis di 14 menit itu. Aku bingung di sela-sela saat dia bertanya alasan mengapa aku memutuskan dia. Aku bingung, aku harus menjelaskan apa. Kalut, galau semua bercampur aduk. Tidak mungkin aku beralasan kalo aku memutuskannya karena dia cantik. Tidak mungkin juga aku beralasan kalo aku memutuskannya karena dia baik. Aku pun beralasan karena dia tidak membalas SMS-ku, trus aku juga bilang kalo dia sudah meremehkan SMSku. Posesif banget kan sikapku ini. Dia tidak terima dengan alasan itu, dia minta jeda waktu 2 minggu. Tapi aku menolaknya. Dia juga sempat meminta maaf karena itu, tapi aku bersikukuh tetap akan memutuskannya. Akhirnya kami sepakat untuk melakukan mekanisme pending 7 hari. Tujuh hari ke depan adalah keputusannya.

Video Call pun berakhir dengan keputusan yang mengambang seperti itu. Semenit kemudian SMS darinya muncul. Dia minta Video Call lagi. Oke, aku kira dia kangen atau bagaimana. Dan ternyata, di Video Call kali ini, dia benar-benar marah. Dia tidak terima dengan apa yang telah aku perbuat. Ini terlalu keterlaluan. Ya, aku merasa juga begitu. Maklum jika dia merasa begitu. Kemudian dia mencabut 7 hari itu, dia ingin putus malam itu juga. Mataku pun semakin berkaca-kaca. Mau tidur juga ga bisa. Aku terlalu galau. Kami resmi putus saat itu juga, 16 Juni 2012 pukul 21.00.

Malam itu aku benar-benar galau. Mungkin aku tidak akan tidur, tepatnya tidak bisa tidur. Kemudian aku online di Facebook. Statusnya begitu nyesek. Dia ingin aku juga merasakan yang ia rasakan. Sudah tentu lah aku merasakan hal itu juga. Aku masih mencintainya. Tapi, kecintaan itu bukan berarti harus terus berpacaran dengannya. Aku melihat dia online juga. Kemudian, entah kenapa tanganku ini iseng sekali mengeklik namanya, lalu memulai percapakan.

-Bersambung-

40 komentar:

  1. Ya, sudah. Lamar saja trus nikah, biar halal :p

    BalasHapus
  2. bersambung bagian 2 nya di blog EL ya? :)

    BalasHapus
  3. @rabest: begitulah :P

    @Millati: pengennya gitu :P

    @bahari: kenapa mas :P

    BalasHapus
  4. The hardest thing about growing up is that you have to do what is right for you even if it means breaking someone's heart. Including your own.

    It's not because that you aren't meant to be together, I think that you're just not ready for forever.

    BalasHapus
  5. Saya belum pernah merasakan indahnya berpacaran sampai sekarang, jadi belum tahu gimana rasanya putus :(

    BalasHapus
  6. @Deny: bagus dong den .. jangan pacaran, ga enak :P

    @Kenni: begitulah Kev, kami memang belum siap :P

    @r10: baguslah yo :P

    @Arif: ^_^

    BalasHapus
  7. penasaran nih dgn lanjutannya, kira kira mau bercakap cakap apa ya ?

    BalasHapus
  8. Ayo nikah aja #provokator :D

    BalasHapus
  9. @duniaely: silakan kunjungi lanjutannya :P

    @Izandi: koko dulu aja yang nikah, baru aku :P
    kan di adat jawa tuh kakak harus menikah sebelum adeknya
    takut ngelangkahin #ngeles

    BalasHapus
  10. be yourself...jangan pedulikan omngan orang lain,selama apa yang kita perbuat tidak mempermalukan orang lain...

    BalasHapus
  11. entri ini benar2 hidup, aku ngrasa kalian ada di depanku..hmmm, John Terro nangis karena EL---aku pikir dia memang perempuan yang hebat John ;)

    BalasHapus
  12. begitulah jeng
    antara tangis dan tawa, lebih banyak muncul tangis dalam cinta ^_^

    BalasHapus
  13. ooh gitu toh kronologisnya, baca sambungannya ah di blog sebelah :)

    BalasHapus
  14. @Yus: ya nanti ada waktunya sendiri :P

    @Lidya: begitulah mbak ^_^

    BalasHapus
  15. Begitulah pasang surut suatu hubungan, ada seneng, ada konflik, ada air mata ada tawa dan seterusnya, saya juga pernah mengalami hal yang semacam ini. dan ujung-ujungnya kita percaya bahwa jika dia itu sudah jodoh kita, maka nggak akan lari kemana.
    semangat Kang

    BalasHapus
  16. makasih atas dukungannya kang Pakies ^_^

    BalasHapus
  17. Hehehe.... :)
    Ah, jadi ikutan seneng. Tetep dukung dah, iskandar :D

    Doanya, tetep....
    Semoga kalian berdua tetap berbahagia :D


    Ehm...kalo aku sih, menganggap pacaran cuma sebatas untuk lebih saling mengenal dan memahami aja sih. Kalo' posesif, g masalah sih. Asal wajar aja menurutku. Gak lebay gt, tetep pengertian dengan kedudukan masing2. Itung2 latian utk nantinya (hehe...), daripada nantinya kelagepan kalo bener2 udah nikah, kan jadi g enak jg :p --> padahal ndirinya belum pernah pacaran

    BalasHapus
  18. amin ^_^
    makasih atas doanya
    posesif pada pacaran itu bukan menaruh pada tempatnya
    kalo udah nikah, posesif itu malah boleh :P
    justru kalo ga posesif itu dipertanyakan
    kalo pacaran buat latihan, bukannya malah ga enak
    cz nanti momennya habis ketika pacaran ika LOL

    BalasHapus
  19. cinta,, cinta itu bagaikan fatamorgana.
    putus lebih baik jika bersama memberikan peperangan batin..
    tidak selamanya cinta itu indah dan mulus.

    BalasHapus
  20. wekekek ... tidak separah itu lah :D

    BalasHapus
  21. jadikanlah pacaran komitmen untuk melangkah ke arah pernikahan

    BalasHapus
  22. wekeke ... tidak harus dengan pacaran uli :P

    BalasHapus
  23. eh, maksudku posesif-nya itu lebih pada menjaga perasaan dan kepercayaan. itu saja sih :p

    bukan posesif yang begitu begitu

    BalasHapus
  24. wekekek ... itu mah bukan posesif ka :P

    BalasHapus
  25. eh, bukan ya?

    tapi, utk membina rumah tangga itu penting kan?

    lagipula, aku rasa kalo g ada "komitmen", atau sebut saja pacaran, atau taaruf lah, itu g juga akan ada muncul kebutuhan utk hal semacam itu. jadi, menurutku , atau yah aku lebih suka menyebutnya sbg posesif yang sehat :p

    Kan, kalo kita punya barang akan cenderungnya juga menjaga barang itu n merawatnya--> refer to menjaga perasaaan. mau itu dipinjem orang lain, ga papa asal balik ke kita---> refer to menjaga kepercayaan,kan

    BalasHapus
  26. wekeke ... tapi bagaimana pun yang begitu bukan posesif namanya :P
    lebih ke arah menjaga kepercayaan ka :P

    BalasHapus
  27. hem....begitu ya? Jadi, posesif itu boleh atau ga? --> kalo udah nikah

    BalasHapus
  28. kalo nikah, suami boleh posesif terhadap istri
    karena suami adalah pemimpin rumah tangga ^_^

    BalasHapus
  29. terus, kalo istri ke suami, boleh ga?

    BalasHapus
  30. boleh, asalkan tidak sampai melarang suaminya poligami, haha :P

    BalasHapus
  31. trus yang adil gimana?
    apakah ada yang lebih adil dari aturan Alloh?

    BalasHapus
  32. haha ... adil di Alloh
    setiap aturan Alloh pasti adil

    BalasHapus
  33. di Allah, kalo di kitanya, gmn?
    :p

    BalasHapus
  34. minta kepada Alloh supaya kita bisa berlaku adil juga :P

    BalasHapus