Kecerdasan Emosi

Aku telah bermain-main dengan hatiku sendiri. Aku bereksperimen lalu membuat hipotesis-hipotesis gila. Sepertinya sudah cukup, mungkin aku mulai merasa lelah jika harus bereksperimen dengan hatiku sendiri. Aku butuh rehat. Rehat dalam ruang yang sepi, namun tak kesepian. Ya, aku butuh itu, secangkir kopi yang biasa menemaniku kala aku menghabiskan malam-malamku sendiri, menulis dan terus menulis. Beberapa orang telah menganggapku gila, namun beberapa lainnya menganggapku jenius.

Otakku benar-benar tak mau aku rehatkan. Detik demi detik, otakku haus, ia ingin terus aku berpikir. Entah, sepertinya jika aku tidak berpikir, aku akan mati, mati dalam kesunyian jiwa. Sepertinya, aku butuh visualisasi dari semua imajinasiku dan intuisi-intuisi yang selalu lalu lalang tanpa permisi di otakku. Namun, aku tak sanggup untuk mendapatkan visualisasi itu. Aku lelah, lelah dengan diriku yang seperti ini. Aku berusaha berdamai dengan otakku, namun tetap saja tak bisa.

Tak usai berdamai dengan otakku, ternyata hatiku juga berontak. Sepertinya dia ingin lepas dari penjara prinsipku. Namun, sudah aku siapkan ruji-ruji besi setebal-tebalnya agar hatiku tak bisa lepas dari prinsipku. Sepertinya, aku masih bisa bertahan karena aku masih memenjarakan hatiku yang nakal. Meskipun terkadang hatiku memerintahkan pada tanganku untuk melakukan gerakan separatis. Hati pun menyuruh mataku untuk bergerilya, mencari racun hati agar hati bisa bunuh diri dan tak bisa aku penjara lagi. Butuh berapa lama aku harus memenjarakan hatiku hingga datang saatnya nanti.

Sepertinya aku harus melakukan kompromi-kompromi dengan semua anggota badanku. #mantraintikali