Suatu hari aku coba tanyakan pada adik sepupuku tersebut, apakah memang perlu untuk semua tugas-tugas sekolahnya itu untuk dicetak/print.
Dia membenarkan bahwa tugas-tugasnya tersebut harus dicetak/print.
Aku tanyakan tidak bisakah dia mencetak/print tugas-tugasnya itu menggunakan fasilitas sekolah.
Dia mengatakan bahwa sebelumnya sudah ada temannya yang minta tolong ke guru komputer di sekolahnya untuk mencetakkan/print tugas mereka. Awalnya sang guru membantu, tapi setelah itu makin banyak yang minta tolong dan akhirnya sang guru tidak lagi membantu. Para siswa diminta untuk cetak sendiri-sendiri.
Aku tanyakan bagaimana cara siswa yang tidak memiliki komputer/laptop untuk bisa mengerjakan tugas-tugas mereka.
Dia menceritakan biasanya siswa yang tidak memiliki komputer/laptop mengerjakan tugas-tugasnya sepulang sekolah di lab komputer sekolah. Kalo gak kebagian jatah ya, mereka harus cari cara lain seperti sewa komputer di warnet atau pergi ke rumah teman yang punya komputer sendiri.
Aku tanyakan berapa jumlah PC di lab komputer sekolahnya.
Dia menjawab sekitar 40-an.
Aku tanyakan berapa uang saku sekolahnya setiap hari.
Dia menjawab 5000.
=== * ===
Setelah percakapan di atas, aku merasa terharu menyadari kejamnya kurikulum yang mesti dijalani siswa sekarang ini. Terutama bagi mereka yang tidak memiliki PC & Printer sendiri.
Mereka harus berebut untuk bisa menggunakan komputer di sekolah mereka yang jumlahnya jelas-jelas tidak memadai, dan bagi mereka yang tidak kebagian untuk menggunakan komputer sekolah, harus meminta bantuan pada orang lain atau menyewa komputer di warnet yang sekarang tarifnya sekitar 2000/jam. Dan aku yakin kebanyakan siswa SMP saat ini masih pemula dan perlu waktu yang relatif lama untuk mengetik tugas-tugas tersebut. Adik sepupuku memerlukan waktu lebih dari 2 jam untuk mengetik 5 halaman A4 yang isinya diambil/dikutip dari buku pelajarannya.
Tidak berhenti di sana, aturan "Tugas harus dicetak/print" terdengar sangat tidak efisien di pikiranku. Mengapa perlu dicetak/print? Bukannya soft-copy saja sudah cukup? Seandainya memang perlu dicetak/print, mengapa pihak sekolah tidak memberikan fasilitas terkait?
Aku coba survei ongkos cetak/print di sejumlah tempat di sekitar rumahku. Ada satu tempat yang memiliki ongkos paling murah, yakni 500/lembar. Ada satu tempat yang pasang harga 800/lembar. Sedangkan lainnya pasang harga 1000/lembar atau bahkan lebih mahal.
Entah apa yang dipikirkan para pendidik sekarang ini. Jika mereka berpikir kurikulum macam di atas merupakan wujud pendidikan yang modern, mereka jelas berada di jalur yang salah.
Sebagai seorang lulusan sekolah dengan kurikulum kuno (tapi setidaknya lebih manusiawi), aku hanya bisa mendo'akan agar generasi baru negeri ini menjadi lebih baik.
***
Cerita di atas adalah #suratpembaca yang dikirim oleh salah satu pembaca di blog ini. Kamu juga bisa mengirimkan pengalamanmu di blog ini. Caranya? Email saja ke admin at intikali dot org dengan subjek "Surat Pembaca".
untuk anak SD juga sudah mulai nih cetak tugas dengan printer, ada seneng ada gak. Seneng sih anak bisa sambil belajar tapi kadang ada yang memanfaatkan dari orang tua anak lain
BalasHapusmaksudnya memanfaatkan dari orang tua anak lain itu apa yah?
HapusEnny tw ini kirimannya siapa :D
BalasHapusxixixi ... jangan dibongkar yah sayangku :P
Hapus(ಠ_ಠ|||)
BalasHapuspamer ato apa nih... kok pake sayang-sayangan...
wekeke, ente salah fokus
Hapusharusnya ke entrinya bukan ke komennya :D
sayapun meninggalkan cara konvensional dalam pengumpulan tugas.. biasanya paling saya suruh mahasiswa kirim tugas via email atau upload via sistem akademik yg sudah disediakan akademik...
BalasHapusBukan kurikulumnya yang salah sepertinya, tapi metode pengajaran dari pengajar itu yang perlu diperbaharui dan mulai mempertimbangkan untuk keluar dar pakem2 yang ada, selama tujuan pembelajaran dapat disampaikan dan dipahami dgn baik oleh siswa
iya pak, udah jamannya paperless
Hapus