Persona Intikalia

11 Jul 2016

Jangan Malas Belajar Bahasa Arab

Belajar memang tidak boleh berhenti. Apalagi belajar Bahasa Arab. Entri ini murni menasehati diriku sendiri karena sudah lama tidak mempelajari Bahasa Arab. Dan baru saja saya menemukan gambar di timeline FB saya tentang perkataan Umar bin Khotthob mengenati pentingnya belajar Bahasa Arab.


Bahasa Arab adalah bagian dari agama Islam. Saya Islam, maka saya harus belajar Bahasa Arab. Sebelum menemukan gambar itu, saya sempat buka dasbor blog dan membaca salah satu tulisan teman blogger saya, yang judulnya Dilema Hari Raya. Di sana jelas terbukti pentingnya mempelajari Bahasa Arab. Kebanyakan orang salah paham mengenai makna Idul Fitri secara bahasa. Dan tidak cukup salah paham secara bahasa saja, kesalahan ini berujung pada salahnya memahami apa yang seharusnya dilakukan.

Kalo mau dipikir-pikir, kebanyakan dari umat Islam di Indonesia saat ini memang lagi malas belajar mengenai agama Islam sendiri, apalagi disuruh belajar Bahasa Arab. Teman SMA saya dulu, dia beragama Kristen juga pernah bertanya kepada saya dan kesannya menjustifikasi apakah saya Islam karena keturunan atau tidak. Saya jawab tidak. Dia ga percaya, dia ngeyel kalau saya Islam keturunan karena orang tua saya Islam. Mungkin karena kebanyakan muslim di Indonesia memang seperti itu. Tapi sekali lagi, saya tekankan saya tidak. Kalau tidak percaya, ya memang saya tidak bisa membuat orang bisa percaya. Haha.

Banyak hal-hal yang saya alami yang membuat saya mengatakan seperti itu. Hanya saja saya malas menceritakan hal privasi padanya. Jika saya Islam keturunan, maka sangat mudah bagi saya untuk pindah agama. Toh anak seumuran SMA juga sudah bisa berpikir logis dan bisa mengambil keputusan.

Kembali lagi ke Bahasa Arab. Seperti bahasa-bahasa lainnya, Bahasa Arab pun juga memiliki keindahan bahasa sendiri. Keindahan bahasanya bukan main. Dan hingga saat ini Bahasa Arab ini terjaga karena terjaganya Al-Quran. Jika melihat dari sejarah diciptakannya nahwu dan shorof dalam Bahasa Arab di zaman Umar bin Khottob adalah karena kejadian bapak yang melaporkan kejadian anaknya yang salah mengatakan sebuah ungkapan. Hurufnya sama, tapi harokatanya beda; beda arti.

Kalimat مااحسن السماء bisa dibaca maa ahsanus-samaa'i (apakah langit itu indah?), bisa juga dibaca maa ahsanas-samaa'a (betapa indahnya langit). Nah si anak tadi mengatakan pada bapaknya, maa ahsanus-samaa'i. Tentu saja ayahnya menjawab: na'am (ya). Kemudian si anak menyanggah bapaknya bahwa maksud anak tersebut bukan bertanya, namun mengungkapkan kekagumannya pada langit. Maka bapaknya pun membetulkan ucapan anaknya, seharusnya maa ahsanas-samaa'a. Karena kejadian itulah bapak tersebut melaporkan pada Umar bin Khotthob. Maka Umar pun menginstruksikan untuk membuat kaidah-kaidah bahasa Arab yang kita kenal sekarang ini dengan nahwu dan shorof.

Setidaknya cerita itu yang saya ingat saat guru Bahasa Arab saya menceritakan asal mula ada nahwu dan shorof. Begitu pula dengan huruf arab yang sekarang ada titik satu, dua, atau tiga di atasnya. Zaman dulu belum ada titiknya loh. Bayangin coba bagaimana hebatnya orang zaman dulu bisa membedakan bunyi huruf arab tanpa titik. Zaman sekarang saja, dihilangin harokatnya saja banyak muslim yang tidak bisa membacanya, termasuka saya, hehe.

Update:
Ada kisah yang salah aku ingat dalam otakku. Setelah aku kroscek. Bukan zaman Umar bin Khottob, tapi zaman Ali bin Abi Tholib. Bukan maa ahsanas-samaa'a dan maa ahsanus-samaa'i, tapi maa ajmalas-samaa'a. dan maa ajmalus-samaa'i.

1 komentar:

  1. Kaidahnya banyak banget, sampai saat ini baru paham betul yg ciri2 isim hee :v

    BalasHapus